Kebijakan ekonomi kembali menjadi sorotan setelah Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, mengumumkan langkah berani. Sekitar Rp 200 triliun dana pemerintah yang sebelumnya tersimpan di Bank Indonesia akan dipindahkan ke bank-bank komersial. Tujuannya sederhana tapi strategis, yakni menambah likuiditas perbankan agar lebih leluasa menyalurkan kredit ke masyarakat, terutama sektor riil.
Langkah ini muncul di tengah situasi yang pelik. Demonstrasi belum mereda, harga kebutuhan pokok merayap naik, dan kepercayaan publik pada pemerintah sedang diuji. Maka kebijakan ini bisa dibaca bukan hanya sebagai urusan ekonomi, tetapi juga sebagai manuver politik untuk meredam ketidakpuasan sosial.
Secara konsep, keputusan ini masuk akal. Dengan tambahan dana segar, bank tak bisa lagi beralasan minim likuiditas. Kredit diharapkan lebih mudah diakses oleh pelaku usaha kecil, industri, hingga proyek strategis nasional. Bahkan bila benar-benar berjalan, suku bunga pinjaman bisa turun dan menjadi angin segar bagi sektor produktif.
Namun, di sinilah tantangannya. Sejarah menunjukkan bahwa dana besar sering kali tidak otomatis mengalir ke masyarakat. Ada potensi dana justru "parkir" di bank tanpa bergerak, atau disalurkan ke kelompok usaha besar yang sudah mapan, sementara UMKM yang menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kembali hanya jadi penonton. Aturan memang melarang penggunaan dana untuk membeli obligasi, tetapi tidak menjamin bahwa bank akan benar-benar agresif menyalurkan pinjaman ke sektor produktif.
Masyarakat tentu menunggu bukti, bukan sekadar janji. Apakah Rp 200 triliun ini benar-benar mampu menurunkan biaya pinjaman? Apakah pelaku usaha kecil akan merasakan dampaknya? Ataukah dana ini hanya akan menjadi angka besar yang mengendap dalam laporan keuangan?
Pada akhirnya, kebijakan ini ibarat dua sisi mata uang. Bisa menjadi momentum pemulihan ekonomi jika dijalankan dengan pengawasan ketat dan keberpihakan nyata kepada sektor riil. Tetapi bisa juga sekadar kebijakan kosmetik bila implementasinya lemah.
Publik berhak berharap, namun juga wajib mengawasi. Karena pada akhirnya, angka Rp 200 triliun itu bukan sekadar dana pemerintah. Itu adalah uang rakyat yang seharusnya kembali lagi untuk kepentingan rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI