1. Pendahuluan: Konteks dan Urgensi
Sejak awal 2025, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerapkan sistem pelaporan SPT elektronik terpadu berbasis Coretax (Cortex). Sistem ini menggantikan aplikasi lama (e-Filing, e-SPT, dan e-Faktur) yang sebelumnya digunakan wajib pajak (WP) dalam pelaporan dan pemungutan pajak.
Modernisasi perpajakan ini diharapkan mempercepat transformasi digital, meningkatkan kepatuhan sukarela, dan mengefisienkan pelayanan pajak. Namun, di balik idealisme itu, muncul dua isu krusial:
Pertama, implementasi sistem Coretax mengalami banyak kendala teknis dan prosedural yang merugikan WP, terutama UMKM.
Kedua, muncul indikasi adanya dugaan korupsi dalam pengadaan sistem, mulai dari mark-up hingga gratifikasi.
Kedua isu ini harus dianalisis dalam kerangka keadilan fiskal dan tata kelola pemerintahan yang baik.
2. Kritik Keadilan dalam Penyampaian eSPT Coretax
A. Keadilan Prosedural
Sistem Coretax dirancang dengan user interface terpadu, tetapi bug teknis, latensi tinggi, dan error login justru menyulitkan WP.
WP yang tidak memiliki akses IT atau literasi digital yang rendah mengalami hambatan serius, namun tetap dikenai sanksi administratif jika terlambat.
Pertanyaan reflektif: Apakah negara telah memberikan akses dan peluang yang setara kepada semua wajib pajak?
B. Keadilan Distributif
WP besar punya konsultan dan akses, sementara UMKM dan WP pribadi terbebani kerumitan teknis.
Ketimpangan ini menunjukkan bahwa sistem Coretax berpotensi memperlebar jurang digital antar kelompok ekonomi.
Studi kasus diskusi kelas: Dampak gagal login dan error OTP terhadap pelaporan SPT UMKM di daerah rural.
C. Keadilan Retributif
Wajib pajak terkena sanksi karena gagal melapor akibat gangguan sistem, bukan karena niat menghindar.
Tidak ada mekanisme koreksi atau kompensasi bagi kerugian WP. Padahal, tanggung jawab bisa jadi ada pada sistem yang disediakan pemerintah.
Pertanyaan kritis: Apakah sistem hukum perpajakan cukup adil dalam memberi perlindungan bagi korban kegagalan sistem?
3. Indikasi Umum Dugaan Korupsi dalam Pembuatan Coretax
Berdasarkan pengalaman global dan praktik di Indonesia, berikut indikasi kuat dugaan korupsi dalam proyek digitalisasi perpajakan seperti Coretax:
Mark-up biaya pengadaan
Harga proyek Coretax mencapai Rp1,3 triliun (2021--2025), namun hasilnya banyak error dan tidak usable oleh sebagian besar WP.
Ada dugaan biaya dilebih-lebihkan (overpricing) dibanding kualitas dan hasil akhir.
Pengaturan tender (kolusi)
Pemenang proyek TI besar kerap sudah ditentukan sejak awal. Vendor tertentu 'dimenangkan' melalui persekongkolan tender.
Pengadaan fiktif atau tidak sesuai spesifikasi
Perangkat lunak yang dibeli tidak scalable, gagal menangani beban data dan transaksi tinggi.
Sertifikasi keamanan sistem tidak dilakukan secara kredibel.
Gratifikasi kepada pejabat pengadaan
Vendor IT menyuap pejabat di lembaga pajak untuk memenangkan proyek dan meloloskan tahap UAT (user acceptance test), meski sistem belum siap.
Dampak Dugaan Korupsi terhadap Wajib Pajak
Gangguan Sistemik: Sistem sulit diakses, pelaporan terhambat.
Ketidakpercayaan: WP kehilangan kepercayaan pada sistem digital, kembali ke manual.
Biaya Ekonomi: WP kecil mengalami kerugian waktu, biaya, dan bahkan kehilangan omzet karena gagal cetak faktur.
Peningkatan Ketimpangan: Kelompok mampu tetap dapat mengelola SPT dengan bantuan ahli, UMKM tertinggal.
Perspektif Teoritis
A. Teori Keadilan John Rawls
Rawls menekankan bahwa sistem harus dirancang agar paling menguntungkan mereka yang berada pada posisi paling tidak beruntung (the difference principle). Sistem Coretax saat ini justru membuat WP kecil makin rentan.
B. Good Governance Principles (UNDP)
Transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik harus menjadi prinsip dasar. Ketika proyek TI publik tidak transparan, peluang korupsi meningkat.
C. Teori Korupsi Klitgaard
Korupsi = Monopoli + Diskresi -- Akuntabilitas
Proyek Coretax memiliki semua unsur tersebut:Monopoli Hanya satu vendor besar menang.
Diskresi Keputusan teknis tertutup dan tidak diaudit publik.
Akuntabilitas lemah Tak ada konsekuensi meski sistem gagal.
1. Apa itu e-SPT Cortex?
e-SPT Cortex adalah singkatan dari Electronic Surat Pemberitahuan berbasis Core Tax Administration System yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Republik Indonesia. Sistem ini merupakan bagian dari reformasi digitalisasi pajak nasional dalam rangka memperkuat layanan dan pengawasan perpajakan.
Secara teknis dan fungsional, e-SPT Cortex adalah bagian dari aplikasi Coretax, yang merupakan sistem inti pajak (core tax system) dengan kemampuan:
Pelaporan pajak secara digital (SPT masa dan tahunan) untuk semua jenis pajak.
Pemrosesan dan integrasi data wajib pajak (WP), termasuk data NPWP, NIK, e-faktur, dan e-bupot dalam satu platform.
Pengawasan kepatuhan WP dengan metode digital forensik dan machine learning.
Analisis risiko atas pelaporan WP dengan pemodelan prediktif.
Cortex menggantikan sistem-sistem terdahulu seperti e-Filing, e-SPT desktop, dan e-Faktur terpisah, dengan tujuan menciptakan platform tunggal berbasis cloud untuk seluruh proses administrasi perpajakan di Indonesia.
Sistem ini juga dihubungkan secara langsung dengan lembaga eksternal seperti Dukcapil (data NIK), perbankan (laporan keuangan), dan sistem OSS (perizinan usaha), menjadikan Cortex sebagai sistem informasi terintegrasi berbasis pendekatan compliance risk management.
2. Kenapa Biaya e-SPT Cortex Sangat Mahal (Rp1,3 Triliun)?
Proyek pengembangan sistem Coretax (termasuk modul e-SPT) menghabiskan anggaran negara sekitar Rp1,3 triliun. Meskipun nilai ini tampaknya besar, pemerintah dan DJP menyatakan bahwa biaya tersebut mencerminkan kompleksitas dan cakupan nasional proyek. Berikut ini alasan umum mengapa sistem semacam ini bisa mahal:
A. Skala Nasional dan Kompleksitas Populasi WP
Sistem ini harus mampu melayani lebih dari 80 juta wajib pajak, baik perorangan maupun badan, dengan jenis kewajiban pajak yang beragam (PPN, PPh, PBB, dll). Sistem dirancang untuk aktif 24/7 secara nasional.
B. Integrasi dengan Sistem Lama (Legacy Systems)
Perlu dilakukan integrasi dengan berbagai aplikasi lama DJP seperti SIDJP, e-Filing, e-Faktur, e-Bupot, serta sistem eksternal seperti Kependudukan, Perbankan, dan OSS. Integrasi ini rumit karena melibatkan:
Konversi data (migrasi)
Validasi dan sinkronisasi NIK-NPWP
Penyesuaian API antar sistem
C. Keamanan Siber dan Infrastruktur Digital
Untuk menjaga kerahasiaan dan keamanan data pajak, sistem memerlukan:
Enkripsi tingkat tinggi
Sertifikasi keamanan TI internasional
Infrastruktur cloud dan redundansi server di beberapa lokasi (data center tier 3 atau 4)
Sistem pemulihan bencana (disaster recovery)
D. Pengembangan Aplikasi dan Konsultansi
Proyek ini menggunakan vendor teknologi asing dan nasional, seperti konsultan pajak digital global (PwC, Accenture, atau mitra SAP) dan pengembang sistem ERP. Biaya ini mencakup:
Analisis kebutuhan (business requirement analysis)
Desain arsitektur sistem
Uji coba sistem (UAT, stress test, migration test)
Pendampingan pelatihan SDM DJP (TOT: Training of Trainers)
E. Pelatihan dan Transformasi SDM
Ribuan pegawai DJP dan tenaga pendukung lainnya harus dilatih ulang untuk memahami sistem baru ini, yang membutuhkan:
Modul pelatihan teknis dan non-teknis
Instruktur profesional TI
Penerjemahan sistem ke dalam SOP kerja
Catatan Kritis: Mahal Efektif
Namun demikian, besarnya biaya tidak menjamin keberhasilan teknis maupun keadilan sistem. Inilah yang menjadi sumber kritik utama dari akademisi, masyarakat pajak, hingga pelaku usaha:
Kinerja sistem masih buruk: latency tinggi, error OTP, bug pada e-faktur.
Sosialisasi minim: WP bingung cara menggunakan sistem, terutama UMKM.
Kurang transparansi proyek: publik tidak tahu siapa vendor, berapa nilai setiap komponen, atau bagaimana pengujian sistem dilakukan.
Upaya Perbaikan Sistem eSPT Cortex oleh DJP
Setelah menerima banyak keluhan dari wajib pajak (WP), pelaku usaha, dan komunitas profesional perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyatakan telah menyiapkan peta jalan (roadmap) perbaikan sistem Coretax/Cortex. Fokus perbaikan berada pada sisi infrastruktur, keamanan, fungsionalitas aplikasi, dan pelatihan pengguna.
1. Target Perbaikan Sistem: Juli 2025
DJP menargetkan bahwa perbaikan total sistem Coretax, termasuk modul eSPT, akan rampung pada akhir Juli 2025. Dalam rencana perbaikannya, DJP mengungkap bahwa terdapat:
22 proses bisnis utama dalam sistem Coretax yang harus disempurnakan.
Hingga Mei 2025, baru 3 proses bisnis yang rampung---termasuk modul validasi NIK-NPWP, integrasi OSS, dan penerbitan NPWP digital.
Proses lain seperti e-faktur, e-SPT masa PPh, dan pencetakan bukti potong masih dalam tahap debugging dan pengujian akhir.
(Sumber: Kompas.id, JawaPos.com, Pajak.go.id)
2. Sistem Lama Masih Berjalan Berdampingan
DJP juga mengonfirmasi bahwa hingga Juni 2025, sistem lama seperti DJP Online, e-Filing, dan e-Faktur desktop masih difungsikan sebagai alternatif untuk meminimalkan gangguan pelaporan pajak selama proses transisi.
Banyak WP masih menggunakan e-Faktur desktop karena modul faktur dalam Coretax sering gagal cetak atau lambat diakses.
Modul e-Filing dan e-Bupot versi lama juga tetap dibuka, khususnya untuk WP kecil dan pribadi.
Forum diskusi online seperti Reddit menunjukkan bahwa banyak WP bahkan kembali ke metode pelaporan manual (PDF atau file CSV) akibat frustrasi menggunakan sistem baru.
(Sumber: Reddit r/Indonesia, Ekonomi.Bisnis.com, JawaPos.com)
3. Fokus Perbaikan Teknis DJP
Peningkatan yang saat ini menjadi prioritas mencakup:
Percepatan waktu akses (latensi server) melalui perbaikan arsitektur cloud dan optimasi traffic.
Stabilitas login dan OTP, yang sebelumnya bermasalah (kode OTP salah panjang atau tidak terkirim).
Modul e-Faktur dan PPh final yang sering mengalami error atau gagal validasi data.
Integrasi penuh dengan Dukcapil untuk validasi NIK dalam waktu nyata (real-time).
Penambahan pusat bantuan (helpdesk) dan pelatihan teknis untuk WP melalui kanal resmi dan media sosial.
4. Tantangan dan Kendala
Meski roadmap sudah dirilis, proses perbaikan menghadapi sejumlah tantangan:
Ketergantungan pada vendor TI eksternal, sehingga debugging memerlukan koordinasi lintas lembaga dan swasta.
Keterbatasan SDM internal di DJP dalam memahami struktur baru sistem (dibandingkan sistem lama).
Kurangnya komunikasi publik, sehingga banyak WP tidak mengetahui update, patch, atau solusi teknis yang sedang diuji.
Kesimpulan: Upaya Perbaikan Masih Progresif, Belum Tuntas
Hingga pertengahan 2025, sistem e-SPT Cortex belum sepenuhnya stabil, dan pemerintah masih mengandalkan sistem lama sebagai backup. Target DJP untuk menyelesaikan seluruh 22 proses bisnis hingga Juli 2025 akan menjadi penentu apakah sistem ini dapat menjadi platform utama perpajakan nasional yang adil, efisien, dan inklusif.
Kondisi ini menunjukkan pentingnya perencanaan transisi digital yang matang, pelibatan publik dalam pengujian sistem (UAT), serta transparansi dalam implementasi proyek TI publik.
Cortex: Aplikasi Digital untuk Pengawasan Pajak
Cortex adalah aplikasi berbasis digital yang dikembangkan dan digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia sebagai alat utama dalam analisis data pajak, pemantauan kepatuhan wajib pajak, dan otomatisasi proses perpajakan. Aplikasi ini memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan data analitik untuk mendeteksi pola perilaku wajib pajak, anomali laporan pajak, dan potensi pelanggaran perpajakan.
Sebagai sebuah sistem yang terintegrasi dengan berbagai sumber data internal dan eksternal, Cortex memungkinkan DJP melakukan monitoring real-time atas aktivitas wajib pajak dan meningkatkan efektivitas penegakan hukum pajak.
Kritik terhadap Cortex dalam Konteks Kepatuhan Pajak
Meskipun teknologi ini menjanjikan efisiensi dan peningkatan kepatuhan, Cortex menghadapi berbagai kritik penting yang berkaitan dengan aspek transparansi, keadilan, dan hak privasi wajib pajak.
1. Kurangnya Transparansi dan Akurasi Algoritma
(a) Kritik utama menyangkut kurangnya transparansi tentang bagaimana algoritma Cortex bekerja dalam menilai tingkat kepatuhan pajak seseorang. DJP tidak selalu mengungkapkan secara detail parameter, bobot risiko, dan mekanisme evaluasi yang digunakan dalam sistem ini.
(b) Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa algoritma tersebut bisa mengandung bias data atau bias desain, yang berarti sistem mungkin tidak mempertimbangkan secara memadai konteks sosial-ekonomi wajib pajak seperti perbedaan kapasitas ekonomi, jenis usaha, atau faktor eksternal lain yang mempengaruhi kemampuan membayar pajak. Hal ini berpotensi menyebabkan kesalahan dalam penilaian risiko dan menimbulkan ketidakadilan dalam proses penegakan.
2. Over-surveillance atau Pemantauan Berlebihan
(1) Beberapa kalangan menilai bahwa penggunaan Cortex membawa risiko pelanggaran privasi wajib pajak. Sistem ini tidak hanya mengandalkan data perpajakan tradisional, tetapi juga memanfaatkan data pihak ketiga dan informasi non-tradisional seperti transaksi perbankan, data kependudukan, serta data daring lainnya tanpa persetujuan eksplisit.
(2) Kondisi ini dikhawatirkan menciptakan pengawasan berlebihan terhadap wajib pajak, bahkan sebelum adanya indikasi pelanggaran pajak yang nyata. Over-surveillance ini berpotensi merusak kepercayaan wajib pajak terhadap DJP dan mengancam hak-hak privasi warga negara.
3. Ketimpangan dalam Penegakan Pajak
(1) Kritikus juga mencatat bahwa Cortex lebih efektif mendeteksi pelanggaran pajak pada skala kecil dan menengah, sementara kasus penghindaran pajak oleh korporasi besar dengan struktur keuangan kompleks sering luput dari pengawasan.
(2) Hal ini menimbulkan ketidakadilan fiskal, karena sistem cenderung memperberat beban usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta individu biasa, sementara perusahaan besar yang memiliki akses ke konsultan pajak dan strategi penghindaran legal tetap relatif aman.
4. Kritik Terkait Proses Tax Return (Pengembalian Pajak)
(1) Cortex memungkinkan otomatisasi dalam mengevaluasi klaim pengembalian pajak (tax refund). Namun, muncul kritik apabila sistem menolak klaim secara otomatis tanpa proses verifikasi manusia yang memadai, terutama dalam kasus false negative di mana klaim sah bisa ditolak secara tidak adil.
(2) Cortex juga dapat meningkatkan jumlah audit berdasarkan analisis risiko yang dilakukan oleh algoritma. Jika sistem tidak cukup akurat, audit yang tidak perlu dapat meningkat, sehingga menambah beban administratif wajib pajak dan potensi stres serta biaya yang tidak proporsional.
Teori Keadilan John Rawls dan Kritik Rawlsian terhadap Cortex DJP
1. Teori Keadilan John Rawls
John Rawls adalah seorang filsuf politik yang mengajukan teori keadilan sebagai fairness (keadilan sebagai kewajaran). Rawls mengusulkan dua prinsip keadilan utama yang menjadi landasan bagi penataan masyarakat yang adil, yaitu:
Prinsip Kebebasan (The Principle of Equal Liberty)
Setiap individu memiliki hak atas kebebasan dasar yang sama, seperti kebebasan berpendapat, kebebasan beragama, dan kebebasan atas perlakuan yang setara dalam hukum.Prinsip Perbedaan (Difference Principle)
Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi hanya diperbolehkan jika:
(1) Menguntungkan pihak yang paling tidak beruntung (least advantaged) dalam masyarakat, sehingga ketidaksetaraan tersebut memperbaiki kondisi mereka.
(2) Ketidaksetaraan didasarkan pada jabatan dan posisi yang terbuka dan dapat diakses oleh semua orang secara adil, tanpa diskriminasi.
2. Aplikasi Cortex DJP: Konteks Umum
Cortex (Compliance Risk Management Expert System) adalah sistem cerdas berbasis AI dan data analytics yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengelola kepatuhan pajak secara efektif. Fungsi utama Cortex antara lain:
Memetakan wajib pajak yang berisiko tinggi agar prioritas pemeriksaan lebih tepat sasaran.
Menentukan prioritas audit dan pemeriksaan pajak berdasarkan hasil analisis data.
Mengolah data kepatuhan secara sistematis untuk meningkatkan efisiensi penegakan hukum pajak.
Sistem ini mengandalkan algoritma yang mengambil keputusan otomatis berdasarkan data besar (big data) dan pola perilaku wajib pajak.
3. Kritik Rawlsian terhadap Cortex DJP
Dalam perspektif teori keadilan Rawls, Cortex menghadapi beberapa kritik serius terkait dua prinsip utama Rawls:
a. Masalah Ketimpangan Akses dan Transparansi --- Pelanggaran Prinsip Kebebasan
Kritik:
Wajib pajak tidak diberi informasi secara jelas mengenai bagaimana algoritma Cortex mengklasifikasikan mereka sebagai risiko tinggi atau rendah.
Informasi ini sangat penting agar wajib pajak dapat memahami, mempertanyakan, atau memperbaiki status risiko mereka.Dampak Rawlsian:
Kurangnya transparansi ini menghalangi kebebasan individu untuk mengetahui dan merespons keputusan yang memengaruhi hak dan kewajiban mereka.
Rawls menilai bahwa ketidakjelasan ini melanggar prinsip kebebasan karena membatasi kemampuan individu dalam berpartisipasi secara adil dalam proses administratif yang penting.
b. Potensi Bias Sistemik terhadap Wajib Pajak Kecil atau UMKM --- Pelanggaran Prinsip Perbedaan
Kritik:
Cortex cenderung lebih efektif mendeteksi kesalahan formal kecil dari wajib pajak kecil atau UMKM, karena data mereka lebih mudah dianalisis dan kesalahan mereka lebih transparan.
Sementara itu, korporasi besar dengan sumber daya dan konsultan pajak kompleks sering terhindar dari deteksi.Dampak Rawlsian:
Menurut prinsip perbedaan, ketidaksetaraan yang timbul harus menguntungkan kelompok yang paling rentan, yakni UMKM dan wajib pajak kurang mampu.
Namun, jika Cortex justru memberatkan kelompok ini dengan lebih banyak audit dan penalti karena keterbatasan sumber daya mereka, maka sistem ini bertentangan dengan prinsip tersebut.
Dengan demikian, Cortex memperkuat ketidakadilan struktural dan memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi dalam sistem perpajakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI