"Harus apa bu?" Harus menanggung malu seumur hidupku, ia bergumam pelan namun aku dapat mendengarnya dengan jernih dan jelas. Apa yang bisa kubanggakan dari anak yang gagal studi? Lanjutnya. Klik, seketika amarahku datang. Kumatikan kompor lalu bergegas menuangkan air panas ke dalam ember, rutinitas sore hari, memandikannya. Sabar, sabar, sabar bisikku pelan, berusaha memadamkan emosi yang akan pecah. Mungkin ia lupa atau memang sudah tidak bisa mengingat sama sekali bila surga telah dinyatakan berada dibawah telapak kakinya. Sungguh ucapannya tidak bisa menggambarkannya!
Sebatang kretek kusesap cepat-cepat seperti sebuah seremoni keberhasilan. Ya, keberhasilan dalam menahan marah dan menuntaskan rutinitas. Ha ha ha ha, aku tertawa sendirian sebelum terbatuk dan teringat,
"Terima kasih Tuhan untuk hari ini, amin"Â
Kulanjutkan dengan menyeka wajah lalu berdiam sebentar, sebuah kebiasaan yang benar-benar tak bisa hilang. Mungkin ini yang disebut dengan waktunya mendengar Ia berkata. Setelah selesai, aku beranjak ke ruang tengah untuk melihatnya dan kemudian mengantarnya ke dalam kamar untuk tidur.
Dan rutinitas berulang kembali, sembahyang, tidur, bangun pagi, doa pagi, melayaninya sarapan dan seterusnya dan seterusnya dan...Â
"Harus apa bu?" Harus menanggung malu seumur hidupku, ia bergumam pelan namun aku dapat mendengarnya dengan jernih dan jelas. Apa yang bisa kubanggakan dari anak yang gagal studi?Â
Mendengarkan lagi ucapannya yang menyakitkan hati, meruntuhkan semangat, meskipun sesungguhnya yang ia katakan sungguh benar bahwa aku gagal studi, aku keluar dari seminari! Tapi bukan karena aku melarikan diri dari kuk yang hendak dipakaikan, tapi karena...
"Aku tidak jadi pensiun tahun ini," kata kakakku waktu itu, hari itu, sebelum teman-teman menahanku pergi untuk kembali ke rumah meninggalkan panggilanNya, untuk merawat ibu. Â Â
"Ton"