Kita sering membayangkan keberanian itu hanya milik pejuang garis depan. Padahal keberanian juga bisa bermakna:
Seorang guru yang tetap jujur menilai siswa meski ditekan wali murid.
Seorang mahasiswa yang menolak titipan nilai dari dosen sendiri.
-
Seorang pemimpin yang tidak mengikuti arus popularitas tapi memilih jalan yang benar.
Seorang aktivis yang tetap santun walau diserang.
Seorang ibu yang mendidik anaknya berkata benar, walau itu menyakitkan.
Diam Itu Bukan Netral, Bisa Jadi Berpihak
Jangan pernah berpikir bahwa diam itu netral. Dalam banyak keadaan, diam adalah bentuk pembiaran.
Ia bukan hanya menyelamatkan diri sendiri—tapi secara tak sadar juga menyelamatkan keburukan agar tetap langgeng.
Dalam kitab Minhajul ‘Abidin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa rasa takut yang baik akan melahirkan ikhtiar dan taqwa.
Tapi rasa takut yang berlebihan akan memadamkan cahaya hati, membuat seseorang terlalu pasif hingga kehilangan semangat hidup.
Dalam dunia modern, ada satu bentuk tekanan halus yang membuat orang baik memilih diam: gaslighting.
Orang yang bicara benar justru dituduh provokator. Orang yang menegur disangka cari masalah. Orang yang berbeda pendapat disebut tidak tahu diri. Lama-lama, ia ragu pada dirinya sendiri, dan akhirnya diam, walau tahu kebenaran. Pola gaslighting ini sebenarnya sudah ada sejak manusia suka merundung, atau menjadi serigala bagi manusia (homo homini lupus). Bentuk fasisme dan penjajahan adalah watak perundungan yang berskala negara bahkan global.Â
Gaslighting adalah bentuk menebarkan ketakutan modern yang tidak tampak, tapi sangat melumpuhkan. Dan itulah kenapa kita harus berani: berani percaya pada intuisi nurani, berani mempertahankan akal sehat, berani bertahan dalam niat baik meski tak semua suka.