Mohon tunggu...
Misri Gozan
Misri Gozan Mohon Tunggu... Guru Besar Teknik Kimia - UI, Ketua BATAP LAM TEKNIK-IABEE Persatuan Insinyur Indonesia

Ketua BATAP dan Komite Eksekutif LAM TEKNIK, Persatuan Insinyur Indonesia Guru Besar Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia Pengasuh Pendidikan Dasar, Menengah dan Pesantren

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bahaya Memelihara Rasa Takut (Serial Resep Hidup Berani ala Penakut 03)

8 Agustus 2025   20:52 Diperbarui: 23 Agustus 2025   13:50 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahaya memelihara rasa takut (Sumber: Misri Gozan)

Rasa takut itu normal. Tapi ketika dipelihara terlalu lama, ia bisa menjadi penyakit.
Ia menggerogoti keberanian. Ia melumpuhkan akal sehat. Bahkan, ia bisa membunuh kebermanfaatan seorang manusia.

Takut bicara kebenaran.
Takut menegur kezaliman.
Takut disalahpahami jika bersikap benar.
Takut kehilangan kenyamanan karena memilih jalan yang tak populer.

Lama-lama, kita hidup dalam selubung kehati-hatian palsu, padahal yang sebenarnya terjadi: kita membiarkan keburukan tumbuh karena kita enggan terlibat.

Takut yang Wajar vs Takut yang Melemahkan

Tidak semua rasa takut itu buruk. Seperti dijelaskan sebelumnya: takut kepada api mendorong kita menyediakan alat pemadam. Takut kepada kecelakaan membuat kita memakai sabuk pengaman. Bahkan dalam agama, takut kepada neraka adalah salah satu motivasi mulia untuk taat kepada Allah.

Tapi ketika rasa takut itu tidak kita kelola, justru ia bisa jadi senjata setan untuk membisukan kita. Ia menyusup pelan:

“Jangan bicara, nanti kamu dipecat.”
“Jangan bela yang lemah, nanti kamu dibenci.”
“Jangan tampil beda, nanti kamu dijauhi.”
“Jangan coba-coba, nanti gagal.”

Padahal, diam dalam hal-hal penting bisa menjadi bagian dari dosa sosial.
Nabi ﷺ bersabda:

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemahnya iman.”
(HR. Muslim)

Ketika Orang Baik Diam, Orang Jahat Menang

Sejarah mencatat bahwa sering kali yang membuat kezaliman bertahan bukan kekuatan para penjahatnya, tapi karena orang-orang baik diam. Mereka tahu kebenaran, tapi takut berbicara. Mereka menyaksikan ketidakadilan, tapi pura-pura sibuk. Mereka punya pengaruh, tapi memilih aman.

Kita sering membayangkan keberanian itu hanya milik pejuang garis depan. Padahal keberanian juga bisa bermakna:

  • Seorang guru yang tetap jujur menilai siswa meski ditekan wali murid.

  • Seorang mahasiswa yang menolak titipan nilai dari dosen sendiri.

  • Seorang pemimpin yang tidak mengikuti arus popularitas tapi memilih jalan yang benar.

  • Seorang aktivis yang tetap santun walau diserang.

  • Seorang ibu yang mendidik anaknya berkata benar, walau itu menyakitkan.


Diam Itu Bukan Netral, Bisa Jadi Berpihak

Jangan pernah berpikir bahwa diam itu netral. Dalam banyak keadaan, diam adalah bentuk pembiaran.
Ia bukan hanya menyelamatkan diri sendiri—tapi secara tak sadar juga menyelamatkan keburukan agar tetap langgeng.

Dalam kitab Minhajul ‘Abidin, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa rasa takut yang baik akan melahirkan ikhtiar dan taqwa.
Tapi rasa takut yang berlebihan akan memadamkan cahaya hati, membuat seseorang terlalu pasif hingga kehilangan semangat hidup.

Dalam dunia modern, ada satu bentuk tekanan halus yang membuat orang baik memilih diam: gaslighting.
Orang yang bicara benar justru dituduh provokator. Orang yang menegur disangka cari masalah. Orang yang berbeda pendapat disebut tidak tahu diri. Lama-lama, ia ragu pada dirinya sendiri, dan akhirnya diam, walau tahu kebenaran. Pola gaslighting ini sebenarnya sudah ada sejak manusia suka merundung, atau menjadi serigala bagi manusia (homo homini lupus). Bentuk fasisme dan penjajahan adalah watak perundungan yang berskala negara bahkan global. 

Gaslighting adalah bentuk menebarkan ketakutan modern yang tidak tampak, tapi sangat melumpuhkan. Dan itulah kenapa kita harus berani: berani percaya pada intuisi nurani, berani mempertahankan akal sehat, berani bertahan dalam niat baik meski tak semua suka.

Refleksi: Apakah Saya Diam karena Lemah atau karena Bijak?

Kadang kita berdalih: “Saya diam karena tidak ingin ribut.”
Tapi diam yang lahir dari ketakutan, bukan dari hikmah, justru mendiamkan masalah jadi besar sampai suatu bentuk yang lebih menakutkan dari awal masalah yang sebenarnya ketika itu kita mampu mengatasinya.


Kita tidak diminta untuk selalu bicara keras. Tapi kita diminta untuk tidak takut mengatakan benar—dengan cara dan waktu yang bijak.

Ketakutan bisa disebarkan dengan kekerasan, tapi juga dengan manipulasi. Maka lawannya bukan hanya nyali, tapi juga kejernihan hati.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun