Jika sistem LAM belum sempurna, tentu wajar. Ia baru berjalan penuh dalam beberapa tahun terakhir. Tapi solusi atas ketidaksempurnaan bukanlah pembatalan atau pembubaran. Solusinya adalah penguatan, termasuk transparansi biaya, peningkatan kapasitas asesor, serta integrasi data dengan PDDIKTI.
Membatalkan kehadiran LAM berarti membatalkan reformasi. Dan bila itu terjadi, pendidikan tinggi Indonesia akan mundur kembali ke era birokrasi tunggal. Tanpa bermaksud memojokkan pihak manapun, konsekwensi logisnya adalah kelambanan, dan tak responsif terhadap kebutuhan zaman yang jelas tidak bisa dihindari.
Saatnya Perkuat Pilar, Bukan Runtuhkan
Cara paling adil adalah menanyakan pada kebanyakan prodi yang sudah menjalani akreditasi oleh LAM-LAM selama 3 tahun terakhir. LAM telah berusaha keras menjadi mitra prodi dalam peningkatan mutu. Bukan musuh prodi, apalagi musuh rakyat. Para LAM adalah pilar-pilar baru yang sedang dibangun demi menjawab tantangan mutu dan daya saing pendidikan tinggi Indonesia.
Gugatan terhadap UU Pendidikan Tinggi harus dilihat secara jernih, sehingga jangan sampai justru menggagalkan ikhtiar besar memperbaiki mutu, hanya karena miskomunikasi atau kepentingan jangka pendek beberapa pihak yang mungkin kurang matang dalam bertindak dan bernegara.
Karena di tengah persaingan global hari ini, mutu bukanlah beban, melainkan bekal. Bekal bagi prodi, juga bagi lulusan. Dan pada gilirannya, bekal bagi negara NKRI tercinta untuk mencapai tujuan besar bersama-sama, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI