Salah satu kekhawatiran yang kerap muncul adalah anggapan bahwa LAM seolah "lepas dari negara", bisa menentukan standar sesukanya, dan membebani perguruan tinggi. Liar, begitulah argumen yang coba dibangun. Lemah sekali logikanya. Faktanya, LAM tidak bisa berdiri atau beroperasi tanpa pengakuan dan pengawasan dari negara. Pengawasan dilakukan secara rutin, minimal setahun sekali LAM diwajibkan melaporkan kinerjanya kepada BAN PT yang merupakan perpanjangan tangan negara.
Dasar hukumnya jelas: Permendikbudristek No. 5 Tahun 2020 yang diganti dengan peraturan menteri No. 53 Tahun 2023. Keduanya  secara eksplisit menyebut bahwa akreditasi eksternal dilakukan oleh LAM yang telah diakui oleh Menteri dan BAN-PT bertindak sebagai "pengakreditasi LAM."Â
Lewat Peraturan BAN-PT No. 1 Tahun 2022, setiap LAM harus memenuhi persyaratan pendirian lembaga, menyusun instrumen akreditasi yang disetujui BAN-PT, mengikuti mekanisme evaluasi dan pembinaan secara berkala. Demikian pula setiap hasil akreditasi LAM wajib disampaikan ke sistem Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) sebagai syarat pengakuan oleh negara untuk semua keperluan legal (pendidikan lanjut, rekrutmen ASN, hibah, dll).
Artinya, LAM bukanlah lembaga swasta tanpa kendali, melainkan mitra strategis negara dalam menjamin mutu.
Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan dari LAM?
LAM bukan hanya milik segelintir orang. LAM adalah instrumen untuk membela kepentingan banyak pihak, terutama:
Mahasiswa dan masyarakat
Mereka berhak mendapat jaminan bahwa kampus yang mereka pilih benar-benar bermutu, tidak hanya lolos secara administratif tetapi juga secara substansi akademik dan profesional.Dunia usaha dan industri
Dunia industri sangat diuntungkan bila dapat menuai lulusan kampus yang sesuai spesifikasi atau kebutuhan nyata industri
Menurut data BPS (2023), 34% lulusan perguruan tinggi bekerja di sektor yang tidak sesuai bidangnya. LAM membantu mengoreksi ini dengan menjamin prodi benar-benar mencetak lulusan sesuai standar kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja.
Perguruan tinggi dan dosen
Evaluasi berbasis sejawat (peer review) dari LAM jauh lebih relevan, membangun dialog akademik yang sehat, dan mendorong inovasi kurikulum serta manajemen pembelajaran.
Menolak Reformasi Bukan Solusi