“Mengapa lembaga yang justru menjamin mutu pendidikan tinggi, kini digugat segelintir pihak tanpa alasan kuat seolah tidak berpihak pada rakyat?”
Itulah pertanyaan saya yang muncul ketika sejumlah pihak mengajukan judicial review atas Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi ke Mahkamah Konstitusi. Mereka menggugat pasal-pasal tentang sistem akreditasi oleh Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM), dengan narasi bahwa sistem ini meminggirkan akses rakyat terhadap pendidikan berkualitas.
Sesederhana itukah jalan pikiran mereka? Apakah sebenarnya gugatan ini justru akan bisa jadi batu sandungan bagi semangat reformasi mutu pendidikan tinggi yang telah lama diperjuangkan dan sedang mendapatkan momentum akselarasi positif ini?
Akar Reformasi: Pisahkan Regulator dari Pelaksana Penjaminan Mutu
Selama bertahun-tahun, sistem akreditasi di Indonesia bersifat terpusat. Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) memegang seluruh kendali, dari menetapkan standar, melakukan penilaian, hingga memberi peringkat. Model ini kerap dikritik karena lambat, tidak responsif terhadap kebutuhan spesifik rumpun ilmu, dan terlalu administratif. Tentu itu bukan semata salah pengurus BAN PT.
Ribuan kampus dan puluhan ribu program studi yang bertebaran di seantero negeri tak wajar rasanya diakreditasi oleh BAN PT sendiri. Bukan hanya karena jumlah SDM BAN PT yang terbatas untuk negeri seluas Indonesia, tetapi juga begitu lebarnya spektrum bidang studi yang harus ditangani.
Tak mungkin mengakreditasi seluruh spektrum jenis prodi tersebut dengan "termometer" yang sama. Betapapun para "pembacanya" (asesor) adalah para ahli dari berbagi bidang, sangat sulit mendapatkan pengakuan terhadap alat ukur "tunggal" yang dibuat tanpa keterlibatan asosiasi profesi maupun asosiasi penyelenggara program studi tersebut.
Maka, lahirlah mandat baru lewat UU No. 12/2012. Salah satu terobosannya adalah membentuk LAM sebagai lembaga independen bentukan masyarakat profesi dan ikatan penyelenggara program pendidikan untuk melakukan akreditasi berbasis disiplin ilmu dan profesi. Ini bukan sekadar perubahan struktural, tapi perubahan paradigma: dari pendekatan birokratis ke pendekatan berbasis keilmuan dan kompetensi.
Saat ini, ada beberapa LAM yang telah diakui dan aktif melakukan akreditasi, antara lain: LAM Rumpun Kesehatan, LAM Teknik (keteknikan, rekayasa), LAM EMBA (ekonomi–manajemen–bisnis–akuntansi), LAM INFOKOM (informatika dan komputer), LAM DIK (kependidikan), LAM SAMA (sains, matematika dan ilmu formal), LAM SPAK (sosial, politik, administrasi, komunikasi), dsb.
LAM Tidak Liar: Diatur dan Diawasi Negara
Salah satu kekhawatiran yang kerap muncul adalah anggapan bahwa LAM seolah "lepas dari negara", bisa menentukan standar sesukanya, dan membebani perguruan tinggi. Liar, begitulah argumen yang coba dibangun. Lemah sekali logikanya. Faktanya, LAM tidak bisa berdiri atau beroperasi tanpa pengakuan dan pengawasan dari negara. Pengawasan dilakukan secara rutin, minimal setahun sekali LAM diwajibkan melaporkan kinerjanya kepada BAN PT yang merupakan perpanjangan tangan negara.
Dasar hukumnya jelas: Permendikbudristek No. 5 Tahun 2020 yang diganti dengan peraturan menteri No. 53 Tahun 2023. Keduanya secara eksplisit menyebut bahwa akreditasi eksternal dilakukan oleh LAM yang telah diakui oleh Menteri dan BAN-PT bertindak sebagai "pengakreditasi LAM."
Lewat Peraturan BAN-PT No. 1 Tahun 2022, setiap LAM harus memenuhi persyaratan pendirian lembaga, menyusun instrumen akreditasi yang disetujui BAN-PT, mengikuti mekanisme evaluasi dan pembinaan secara berkala. Demikian pula setiap hasil akreditasi LAM wajib disampaikan ke sistem Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) sebagai syarat pengakuan oleh negara untuk semua keperluan legal (pendidikan lanjut, rekrutmen ASN, hibah, dll).
Artinya, LAM bukanlah lembaga swasta tanpa kendali, melainkan mitra strategis negara dalam menjamin mutu.
Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan dari LAM?
LAM bukan hanya milik segelintir orang. LAM adalah instrumen untuk membela kepentingan banyak pihak, terutama:
Mahasiswa dan masyarakat
Mereka berhak mendapat jaminan bahwa kampus yang mereka pilih benar-benar bermutu, tidak hanya lolos secara administratif tetapi juga secara substansi akademik dan profesional.Dunia usaha dan industri
Dunia industri sangat diuntungkan bila dapat menuai lulusan kampus yang sesuai spesifikasi atau kebutuhan nyata industri
Menurut data BPS (2023), 34% lulusan perguruan tinggi bekerja di sektor yang tidak sesuai bidangnya. LAM membantu mengoreksi ini dengan menjamin prodi benar-benar mencetak lulusan sesuai standar kompetensi yang dibutuhkan dunia kerja.
Perguruan tinggi dan dosen
Evaluasi berbasis sejawat (peer review) dari LAM jauh lebih relevan, membangun dialog akademik yang sehat, dan mendorong inovasi kurikulum serta manajemen pembelajaran.
Menolak Reformasi Bukan Solusi
Jika sistem LAM belum sempurna, tentu wajar. Ia baru berjalan penuh dalam beberapa tahun terakhir. Tapi solusi atas ketidaksempurnaan bukanlah pembatalan atau pembubaran. Solusinya adalah penguatan, termasuk transparansi biaya, peningkatan kapasitas asesor, serta integrasi data dengan PDDIKTI.
Membatalkan kehadiran LAM berarti membatalkan reformasi. Dan bila itu terjadi, pendidikan tinggi Indonesia akan mundur kembali ke era birokrasi tunggal. Tanpa bermaksud memojokkan pihak manapun, konsekwensi logisnya adalah kelambanan, dan tak responsif terhadap kebutuhan zaman yang jelas tidak bisa dihindari.
Saatnya Perkuat Pilar, Bukan Runtuhkan
Cara paling adil adalah menanyakan pada kebanyakan prodi yang sudah menjalani akreditasi oleh LAM-LAM selama 3 tahun terakhir. LAM telah berusaha keras menjadi mitra prodi dalam peningkatan mutu. Bukan musuh prodi, apalagi musuh rakyat. Para LAM adalah pilar-pilar baru yang sedang dibangun demi menjawab tantangan mutu dan daya saing pendidikan tinggi Indonesia.
Gugatan terhadap UU Pendidikan Tinggi harus dilihat secara jernih, sehingga jangan sampai justru menggagalkan ikhtiar besar memperbaiki mutu, hanya karena miskomunikasi atau kepentingan jangka pendek beberapa pihak yang mungkin kurang matang dalam bertindak dan bernegara.
Karena di tengah persaingan global hari ini, mutu bukanlah beban, melainkan bekal. Bekal bagi prodi, juga bagi lulusan. Dan pada gilirannya, bekal bagi negara NKRI tercinta untuk mencapai tujuan besar bersama-sama, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI