Saat kecil, berteman terasa mudah. Kita bisa akrab hanya karena duduk sebangku, bermain di taman, atau punya hobi yang sama.Â
Di masa remaja, sekolah memberi ruang besar untuk berinteraksi, bertukar cerita, bahkan membentuk kelompok pertemanan yang terasa seperti "rumah kedua." Namun, seiring bertambahnya usia, banyak hubungan yang perlahan memudar.
Kita tumbuh, berpisah, sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang menikah, pindah kerja, merantau ke kota lain, atau bahkan berubah menjadi pribadi yang tak lagi sejalan.Â
Tanpa disadari, nama-nama yang dulu begitu akrab kini hanya tersisa di daftar kontak tanpa kabar terbaru.
Namun, nilai memiliki sahabat sejati tidak pernah berkurang. Justru, di usia dewasa, keberadaan lingkaran sosial yang suportif menjadi semakin penting---bukan sekadar untuk bersenang-senang, tetapi juga demi menjaga keseimbangan mental dan emosional.
Berbagai penelitian menunjukkan, banyak orang dewasa modern melaporkan merasa kesepian, meskipun memiliki pekerjaan, pasangan, atau media sosial dengan ribuan pengikut.Â
Lalu, mengapa menjalin atau mempertahankan pertemanan terasa semakin sulit ketika kita dewasa? Dan bagaimana cara mengubahnya?
1. Saat Kita Berusaha Mengontrol Hal yang Tak Bisa Dikendalikan
Salah satu penyebab utama persahabatan di usia dewasa terasa menyedihkan adalah munculnya ekspektasi tersembunyi.Â
Kita berharap teman akan selalu cepat membalas pesan, mengajak hangout lebih dulu, atau menunjukkan perhatian seperti yang kita lakukan.
Padahal, di dunia nyata, setiap orang memiliki ritme hidup yang berbeda. Ada yang sedang fokus mengejar karier, ada yang mengasuh anak, ada pula yang tengah berjuang secara mental dan memilih menarik diri sementara waktu.
Semakin kita menggantungkan rasa "terhubung" pada respons orang lain, semakin besar potensi kecewa. Kita jadi merasa diabaikan, padahal mungkin teman kita hanya sedang berjuang di tempat lain yang tidak kita lihat.
Persahabatan di usia dewasa membutuhkan pemahaman bahwa hubungan sosial tidak selalu berjalan seimbang.Â
Terkadang kita memberi lebih banyak, di waktu lain kita yang menerima lebih banyak. Itulah dinamika alami hubungan manusia.
Menariknya, studi sosial juga menemukan bahwa seiring bertambahnya usia, pertemanan cenderung menjadi lebih homogen---baik dalam hal gender, tingkat pendidikan, maupun minat hidup.Â
Ini menunjukkan bahwa secara alami, kita tertarik pada orang-orang yang serupa dengan diri sendiri.Â
Namun di sisi lain, kecenderungan ini juga bisa mempersempit kesempatan untuk mengenal orang baru di luar "gelembung sosial" kita.
2. Ketika Standar Persahabatan Masih Terjebak di Masa Muda
Banyak orang dewasa tanpa sadar masih mengukur kedekatan dengan standar masa sekolah atau kuliah: sering bertemu, sering chat, sering nongkrong bareng. Padahal, realitas kehidupan dewasa sangat berbeda.
Rutinitas yang padat, tanggung jawab pekerjaan, dan prioritas keluarga membuat kita tidak selalu punya waktu untuk pertemuan rutin. Namun, bukan berarti hubungan itu kehilangan makna.
Persahabatan yang matang tidak selalu diukur dari intensitas pertemuan, melainkan dari kehangatan interaksi.Â
Sebuah pesan singkat "gue inget lo" atau video lucu yang dikirim lewat DM bisa berarti besar. Begitu juga telepon tak terduga di malam hari hanya untuk menanyakan kabar.
Penelitian dari Frontiers in Psychology (2023) bahkan menyebut bahwa kualitas hubungan dan frekuensi waktu bersama teman adalah dua faktor penting yang memengaruhi kesejahteraan mental seseorang.Â
Orang yang memiliki hubungan sosial positif cenderung merasa lebih bahagia, lebih sehat, dan lebih tahan menghadapi tekanan hidup.
Selain itu, ada elemen-elemen kecil yang membuat sebuah persahabatan terasa "hidup": jumlah teman yang mendukung, reaksi positif saat kita berbagi kabar baik, dorongan terhadap kemandirian, serta konsistensi dalam menjaga komunikasi.
Persahabatan seperti ini memberikan rasa dihargai dan diterima apa adanya---dua kebutuhan psikologis dasar yang sering kali sulit ditemukan di dunia kerja atau hubungan romantis.
3. Menunggu Orang Lain untuk Memulai
Salah satu kesalahan paling umum yang dilakukan banyak orang dewasa adalah menunggu orang lain untuk memulai.Â
Kita sering berpikir, "Kalau dia nggak hubungi duluan, berarti dia udah nggak peduli." Padahal, bisa jadi teman kita berpikir hal yang sama.
Menurut sejumlah penelitian psikologi sosial, percakapan ringan dengan orang asing sekalipun bisa berdampak besar terhadap kesehatan mental.Â
Studi oleh Nicholas Epley dan Juliana Schroeder (University of Chicago) menunjukkan bahwa interaksi santai dengan orang yang belum kita kenal dapat meningkatkan rasa terhubung dan menumbuhkan perasaan memiliki tempat di masyarakat.
Sementara itu, riset lain oleh Katherine West menemukan bahwa kualitas interaksi singkat dengan orang asing bisa mengurangi rasa kesepian dan meningkatkan kesejahteraan mental---bahkan efeknya bisa sebanding dengan manfaat hubungan dekat.
Artinya, kita tidak perlu menunggu momen besar untuk membangun koneksi. Kadang, percakapan ringan dengan barista, tetangga, atau rekan di gym bisa menjadi titik awal sebuah hubungan baru.
4. Membangun Koneksi Baru Butuh Keberanian dan Konsistensi
Jika kamu tipe introvert atau merasa canggung di situasi sosial, membangun koneksi baru memang bisa terasa menakutkan. Namun, hal ini bisa dilatih dengan langkah kecil yang realistis.
Mulailah dengan datang ke tempat yang rutin dikunjungi orang-orang dengan minat serupa---seperti klub membaca, kelas keramik, komunitas bersepeda, atau tempat ibadah. Tempat-tempat semacam ini menciptakan peluang alami untuk berbincang tanpa tekanan.
Kunci utamanya adalah rasa ingin tahu yang tulus. Alih-alih berusaha tampil menarik, lebih baik jadi pendengar yang baik.Â
Tanyakan hal-hal kecil, dengarkan cerita mereka, dan tunjukkan ketertarikan pada hal yang mereka bagikan. Orang cenderung merasa nyaman dengan mereka yang membuatnya merasa didengarkan.
Setelah beberapa kali bertemu, kamu bisa mulai mengajak mereka melakukan hal sederhana bersama---seperti ngopi, jogging, atau menghadiri acara komunitas.Â
Dari interaksi berulang dan konsisten itulah, rasa familiar akan tumbuh, dan hubungan bisa berkembang menjadi pertemanan yang alami.
Yang perlu diingat, membangun keakraban bukan soal cepat atau lambat, tapi soal konsistensi. Persahabatan dewasa jarang lahir dari pertemuan pertama, melainkan dari kehadiran yang berulang dan sikap tulus tanpa pamrih.
5. Mengarahkan Ekspektasi ke Dalam Diri Sendiri
Persahabatan di usia dewasa menuntut kita untuk lebih reflektif. Alih-alih menuntut perhatian, kita perlu bertanya pada diri sendiri:
Apakah saya sudah berusaha menghubungi lebih dulu?
Apakah saya memberi ruang ketika teman sedang sibuk?
Apakah saya bisa menerima bahwa hubungan bisa naik-turun seiring waktu?
Dengan mengarahkan ekspektasi ke dalam diri, kita berhenti menjadikan hubungan sebagai sumber frustrasi, dan mulai menjadikannya sebagai ruang tumbuh.
Kita belajar untuk tidak menilai nilai pertemanan dari seberapa sering teman hadir, tetapi dari seberapa tulus ia hadir ketika benar-benar dibutuhkan. Kadang satu panggilan telepon yang jujur bisa berarti lebih dari seratus pesan basa-basi.
Kita juga perlu menerima kenyataan bahwa tidak semua teman akan bertahan selamanya, dan itu bukan kegagalan.Â
Ada teman yang hanya hadir di satu fase hidup kita untuk memberi pelajaran tertentu. Dan ada pula yang tetap tinggal, meski jarak dan waktu berusaha memisahkan.
6. Ketika Persahabatan Dewasa Menjadi Cermin Pertumbuhan
Seiring bertambahnya usia, kita akan sadar bahwa pertemanan bukan lagi tentang jumlah, melainkan kualitas.Â
Persahabatan yang sehat bukanlah yang selalu ramai dan seru, tapi yang membuat kita merasa aman menjadi diri sendiri.
Sahabat sejati tidak selalu hadir setiap saat, tapi mereka hadir dengan cara yang berarti. Mereka bisa mengingatkan kita saat salah arah, menertawakan hal konyol tanpa menghakimi, dan tetap memberi ruang ketika kita butuh waktu sendiri.
Dalam fase hidup yang semakin kompleks, teman sejati menjadi jangkar emosi yang membantu kita tetap waras.Â
Mereka tidak hanya hadir untuk bersenang-senang, tapi juga ketika hidup sedang tidak mudah.
Mungkin kita tidak lagi punya banyak waktu untuk nongkrong tiap minggu, tapi kita punya pilihan untuk tetap menjaga koneksi lewat cara yang sederhana namun bermakna.Â
Dan di sanalah letak keindahan persahabatan dewasa: tidak berisik, tapi hangat. Tidak intens, tapi tulus.
Penutup: Persahabatan Dewasa, Tentang Hadir dengan Tulus
Menjalani hidup dewasa sering kali berarti menyeimbangkan banyak hal---pekerjaan, keluarga, tanggung jawab, dan waktu untuk diri sendiri.Â
Di tengah semua itu, wajar bila lingkaran sosial menyusut dan hubungan berubah bentuk. Tapi bukan berarti kita kehilangan kemampuan untuk berteman.
Kita hanya perlu menyesuaikan cara kita memahami dan merawat hubungan. Bukan lagi dengan ekspektasi "seperti dulu," tapi dengan kesadaran bahwa setiap orang kini berjalan dengan ritme berbeda.
Persahabatan sejati di usia dewasa tidak diukur dari seberapa sering bertemu, melainkan seberapa tulus kita hadir di kehidupan satu sama lain.Â
Sebab, pada akhirnya, yang paling penting bukanlah siapa yang selalu ada di dekat kita, tetapi siapa yang tetap bertahan di hati, bahkan ketika jarak memisahkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI