Semakin kita menggantungkan rasa "terhubung" pada respons orang lain, semakin besar potensi kecewa. Kita jadi merasa diabaikan, padahal mungkin teman kita hanya sedang berjuang di tempat lain yang tidak kita lihat.
Persahabatan di usia dewasa membutuhkan pemahaman bahwa hubungan sosial tidak selalu berjalan seimbang.Â
Terkadang kita memberi lebih banyak, di waktu lain kita yang menerima lebih banyak. Itulah dinamika alami hubungan manusia.
Menariknya, studi sosial juga menemukan bahwa seiring bertambahnya usia, pertemanan cenderung menjadi lebih homogen---baik dalam hal gender, tingkat pendidikan, maupun minat hidup.Â
Ini menunjukkan bahwa secara alami, kita tertarik pada orang-orang yang serupa dengan diri sendiri.Â
Namun di sisi lain, kecenderungan ini juga bisa mempersempit kesempatan untuk mengenal orang baru di luar "gelembung sosial" kita.
2. Ketika Standar Persahabatan Masih Terjebak di Masa Muda
Banyak orang dewasa tanpa sadar masih mengukur kedekatan dengan standar masa sekolah atau kuliah: sering bertemu, sering chat, sering nongkrong bareng. Padahal, realitas kehidupan dewasa sangat berbeda.
Rutinitas yang padat, tanggung jawab pekerjaan, dan prioritas keluarga membuat kita tidak selalu punya waktu untuk pertemuan rutin. Namun, bukan berarti hubungan itu kehilangan makna.
Persahabatan yang matang tidak selalu diukur dari intensitas pertemuan, melainkan dari kehangatan interaksi.Â
Sebuah pesan singkat "gue inget lo" atau video lucu yang dikirim lewat DM bisa berarti besar. Begitu juga telepon tak terduga di malam hari hanya untuk menanyakan kabar.
Penelitian dari Frontiers in Psychology (2023) bahkan menyebut bahwa kualitas hubungan dan frekuensi waktu bersama teman adalah dua faktor penting yang memengaruhi kesejahteraan mental seseorang.Â