Â
Di dunia kerja, kita sering diajarkan bahwa kemampuan, keahlian, dan pengalaman adalah tiga kunci utama menuju kesuksesan.Â
Semakin kompeten seseorang, semakin besar pula peluangnya untuk naik jabatan atau memperoleh pengakuan profesional. Namun, realitas yang terjadi di lapangan tidak selalu sesederhana itu.Â
Ada faktor nonteknis yang diam-diam turut memengaruhi penilaian terhadap karyawan: penampilan fisik.Â
Diskriminasi yang berbasis pada penampilan ini dikenal dengan istilah face-ism---sebuah fenomena yang sering kali luput dari sorotan, tetapi dampaknya sangat nyata.
Face-ism menunjukkan bahwa meskipun dunia kerja semakin modern, nilai-nilai lama tentang "siapa yang tampak lebih menarik" masih melekat di alam bawah sadar banyak orang.Â
Dalam banyak kasus, keputusan penting seperti promosi jabatan, pembagian tugas prestisius, hingga cara atasan memperlakukan bawahan, bisa dipengaruhi oleh kesan visual semata.Â
Fenomena ini menunjukkan bahwa kompetensi profesional saja belum tentu cukup untuk menjamin perlakuan yang adil.
Apa Itu Face-ism dan Mengapa Bisa Terjadi?
Face-ism merupakan bentuk diskriminasi yang berakar pada penampilan wajah atau fisik seseorang.Â
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Karen Dion dan koleganya pada tahun 1972 melalui penelitian yang menunjukkan bahwa orang cenderung mengasosiasikan wajah menarik dengan sifat-sifat positif, seperti pintar, ramah, atau dapat dipercaya.Â
Fenomena ini sering disebut juga "beauty bias"---bias kognitif yang membuat kita menilai kualitas seseorang hanya dari tampilan luar.