Banyak teori investasi yang mengarahkan porsi obligasi cukup signifikan di portofolio. Ada teori 60/40 klasik: 60% saham, 40% obligasi.Â
Ada juga strategi "all-weather" yang merekomendasikan porsi obligasi cukup besar agar portofolio tahan banting di berbagai kondisi ekonomi. Di praktiknya, alokasi ini tentu disesuaikan dengan usia, tujuan, dan toleransi risiko.
Kalau kamu masih muda (20--30-an), kemewahan yang kamu punya adalah waktu --- sehingga wajar kalau porsi saham lebih besar untuk ngejar growth.Â
Tapi menyisihkan sedikit obligasi---misalnya 10--20%---bisa jadi latihan pakai rem; ketika pasar lagi turun, kamu punya aset yang lebih stabil sebagai bantalan.
Kalau umurmu 40--50 dan aset mulai terkumpul, menambah porsi obligasi jadi masuk akal untuk menjaga penghasilan pasif dan mengurangi volatilitas.Â
Di masa pensiun, banyak ahli menyarankan porsi obligasi yang lebih besar agar kebutuhan hidup tetap terpenuhi tanpa harus jual aset pada waktu pasar turun.
Realita di Indonesia: apa yang lagi tren?
Di Indonesia, perilaku investasi masyarakat cukup beragam. Kelas menengah sering berminat ke properti karena anggapan "tanah pasti naik harga" --- padahal kalau suku bunga tinggi, biaya KPR bisa jadi jebakan.Â
Saham juga populer karena kemudahan aplikasi trading; reksadana jadi pilihan bagi yang mau investasi tapi tak punya waktu riset; crypto menarik minat karena potensi return besar sekaligus volatilitas ekstrem.
Sementara itu, obligasi (dan reksa pasar uang/obligasi) seringkali dipandang remeh, padahal mereka menawarkan keuntungan nyata: proteksi, likuiditas, dan arus kas.Â
Ketika suku bunga lagi tinggi---sebagaimana kondisi yang beberapa periode terakhir membuat yield obligasi menarik---menaruh sebagian portofolio di obligasi adalah keputusan rasional.Â
Enggak ada salahnya punya 20--40% di instrumen obligasi, tergantung tujuan dan horizon investasi.