- Lahan adat kosong terancam ditetapkan terlantar, hal ini berpotensi menjadi konflik besar antara negara dan masyarakat adat.
Â
- Lahan produktif yang diistirahatkan untuk penyuburan tanah bisa terkena kategori terlantar, dimana petani yang sedang menunggu musim tanam atau melakukan rotasi lahan bisa dianggap menelantarkan tanah, jika tidak ada pemahaman teknis dari otoritas pertanahan.
Â
- Penyalahgunaan HGU, dari peruntukannya yang menyimpang hingga spekulasi bank. Beberapa pemilik HGU diketahui mengganti peruntukan tanah dari misalkan budidaya kelapa menjadi sawit tanpa izin telah berubah fungsi. Bahkan ada yang menggunakan dokumen HGU sebagai jaminan kredit ke bank untuk kepentingan non produktif.
Ini menunjukkan bahwa dalam kapitalis sekuler sekarang ini, tanah hanya dijadikan komoditas, bukan amanah publik. Apalagi faktanya tanah dalam skema HGU dan HGB lebi banyak dikuasai korporasi besar, sementara rakyat kecil kesulitan memiliki lahan untuk tempat tinggal, bertani dan berdagang. Negara justru menjadi fasilitator kepentingan pemodal, bukan pelindung hak rakyat. Penarikan tanah terlantar bahkan bisa menjadi celah pemanfaatan tanah untuk oligarki.
Disaat yang sama, banyak tanah milik negara yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum justru dibiarkan terbengkalai. Pemerintah pun tidak memiliki perencanaan yang jelas untuk memanfaatkan lahan terlantar itu. Sehingga dapat memicu penyalahgunaan atau pengelolaan tidak tepat sasaran. Pengelolaan tanah selalu dikaitkan dengan ketersediaan anggaran, seolah kepemilikan tanah hanya bermanfaat jika menguntungkan secara finansial. Padahal tanah adalah sumber kehidupan. Kapitalisme menjadikan semua hal termasuk tanah, tunduk pada kepentingan bisnis dan investor.
Permasalahan pertanahan di Indonesia bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal politik agraria, keadilan sosial, dan ketimpangan penguasaan lahan. Diperlukan mekanisme pengawasan dan evaluasi data pertanahan nasional, perlindungan hak - hak rakyat, serta penegakan hukum yang konsisten agar tanah sebagai sumber daya utama tidak terus menjadi sumber konflik.
Solusi Islam
Islam adalah agama yang sempurna, dimana selalu ada solusi dan jawaban atas problematika kehidupan. Dalam hal ini Islam memiliki mekanisme pengelolaan tanah termasuk tanah terlantar dan tanah mati. Dalam Islam tanah dibagi menjadi 3 kepemilikan yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Negara tidak boleh menyerahkan tanah negara untuk dikuasai individu/ swasta tanpa batas. Negara akan mengelola tanah - tanah milik negara untuk proyek strategis untuk menyentuh kebutuhan rakyat seperti pemukiman, pertanian, dan infrastruktur umum. Bukan untuk dijual ke asing atau dikuasai korporasi. Karena tujuan negara dalam Islam "khilafah" bukan laba, melainkan kesejahteraan dan keberkahan.
Dalam Islam, tanah merupakan amanah dari Allah SWT yang harus dimanfaatkan untuk kemaslahatan. Oleh karena itu jika ada tanah yang tidak digarap selama tiga tahun berturut -- turut maka negara berhak mengambil kembali tanah tersebut dari pemiliknya, karena dianggap telah menelantarkannya. Selanjutnya, tanah itu akan diberikan kepada orang lain yang mampu dan mau mengelolanya agar bisa memberi manfaat bagi umat. Namun, jika ternyata setelah diselidiki pemilik tanah tersebut tidak menggarapnya bukan karena malas atau lalai, melainkan karena tidak memiliki modal atau alat produksi, maka negara tidak langsung mengambil tanahnya. Sebaliknya, negara akan membantu dengan memberi modal dari baitul mal, seperti benih, alat pertanian, atau hewan ternak sehingga dia dapat kembali menggarap tanahnya.