Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tak Ada Suara Azan di Kampung Itu

9 Mei 2021   02:16 Diperbarui: 9 Mei 2021   06:19 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen: Tak Ada Suara Azan di Kampung Itu 

Lelaki itu berdiri sembari menatap matahari yang menghilang dari tatapan matanya. Sementara langit bergaris merah muda. Lelaki itu mengambil air wudhu yang ada dalam ember. Dan byurr...Seluruh tubuhnya dari mulai tangan hingga kaki terguyur dengan air wudhu. Nikmat sekali dirasakannya. Dan lelaki itu pun mulai mengerjakan sholat Magribnya. Cahaya rembulan mulai tampak.

Sudah seminggu lelaki itu terjebak di Kampung ini. Sebuah perkampungan yang jauh dari Kota. Dan untuk mencapai kampung ini, lelaki itu harus menempuh perjalanan yang sangat melelahkan. Sekurangnya hampir enam jam, dia menumpang sepeda motor milik warga yang kebetulan pulang dari Kota untuk mengurus E-KTPnya yang rusak. 

Dan selama seminggu ini pula, lelaki itu tak pernah mendengar suara azan dari Masjid. Dan saat lelaki itu berkeliling Kampung, dia tak melihat adanya bangunan masjid. Sementara saat senja tiba, ketika matahari mulai terbenam di ufuk timur, para lelaki Kampung selalu duduk di halaman rumah mereka dengan berkain sarung dan berkopiah. Apakah mereka sholat di rumah? Sementara kaum perempuannya selalu menggunakan hijab saat keluar rumah dan bepergian. 

Dan sudah seminggu ini pula dia harus menerima apa adanya tentang Kampung Ini yang katanya memiliki pesona yang luarbiasa dan magnet yang kuat sehingga orang-orang berebut datang ke sini. Tak terkecuali lelaki yang berprofesi sebagai jurnalis sebuah media dari Kota.

" Saya juga heran,apa hebatnya Kampung kami ini sehingga orang-orang mau saja datang ke sini dengan bersusah payah untuk melihat Kampung kami ini," ujar Pak Lurah kepada lelaki itu.

" Barangkali ada sesuatu yang tersembunyi di kampung ini yang membuat orang-orang ingin ke sini,Pak Lurah," jawab lelaki itu.

" Adik sudah seminggu disini. Menurut Adik apa yang menarik dari Kampung kami ini," tanya Pak Lurah.

Lelaki itu terdiam. Dia hanya menatap Pak Lurah. Seolah membenarkan apa yang dikatakan Pak Lurah kampung ini. Tak ada istimewanya kampung ini. Tapi, anehnya orang berlomba-lomba datang ke sini walaupun harus menerima segala konsekwensinya selama tinggal di sini. termasuk lelaki itu yang harus rela menumpang tidur di Pos Ronda Kampung. 

Tak ada penginapan. Tak ada rumah makan. Makan ala kadarnya yang penting perut bisa kenyang. Sementara kalau malam hari, kegelapan melanda seluruh kampung. Warga hanya menggunakan lampu templok. Bahkan ada rumah warga kampung yang tak menggunakan penerangan hingga matahari terbangun dari mimpi panjangnya. Sementara suara orang mengaji terus terdengar dari setiap rumah warga. Mensakralkan Kampung pada saat malam hari.

" Makanya kadang sebagai Kepala Kampung, saya heran, bahkan sangat heran sekali banyak orang datang ke sini untuk melihat Kampung kami ini. Dan menuliskannya di koran. bahkan menyiarkannya di televisi," urai Pak Lurah dengan nada suara setengah bertanya.

"Bukannya saya tak senang Kampung kami didatangi orang-orang. Bukan sama sekali. Saya sangat senang. saya bahagia ada orang dari Kota datang ke kampung kami ini. Cuma yang jadi pertanyaan di otak saya, ada apa dengan kampung Kami ini sehingga orang-orang tersihir untuk datang kemari," lanjutnya masih dengan nada suara berbalut pertanyaan. 

Mulut Pak Lurah terus mengeluarkan suara yang bernada pertanyaan dan terkadang suara yang keluar dari mulutnya berbau kekesalan yang terdengar sangat dalam. Bahkan lelaki itu pun tak luput dari sasaran tembak mulut berbau kekesalan dari Pak Lurah. 

" Kamu sebagai jurnalis rela datang ke sini karena tersihir perintah Bosmu untuk melakukan kegiatan jurnalistik di kampung ini. Kamu sudah dapat apa yang Bosmu inginkan untuk bahan tulisanmu di koran," tanya Pak Lurah.

Lelaki itu menggelengkan kepalanya dengan lemah. Wajahnya menatap wajah Pak Lurah yang tampak gusar. Dan seteah beberapa saat, lelaki itu melihat gestur wajah Pak Lurah agak sedikit tenang. Meskipun wajah gusar diwajahnya belum sepenuhnya hilang.

" Begini Pak Lurah. Sebagaimana yang Pak Lurah ketahui, aku kesini diperintahkan Pimpinanku untuk meliput kegiatan di kampung ini. Soalnya di Kampung ini tak ada sama sekali masjid. Sementara para warganya sangat religius. Setiap malam saya mendengar para warga mengaji. Suara mereka meyanndungkan ayat-ayat suci itu sungguh merdu sekali," jawab lelaki itu dengan hati-hati.

Pak Lurah terdiam. Tak memberi jawaban. Mulutnya seolah terkunci. Malam makin menjauh. Sementara suara orang menyenandungkan ayat-ayat suci Alquran terus terdengar dengan  merdunya. Merelgiuskan Kampung. Mensakralkan alam raya.    

Toboali, Ramadan ke-27/Minggu 9 Mei 2021

Salam sehat dari Kota Toboali

salam Ramadan buat pembaca dan Kompasianer yang menjalankan Ibadah Puasa 1442 H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun