Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Chapter Pagi, Purnama, dan Pucuk Cemara

2 Oktober 2020   07:04 Diperbarui: 4 Oktober 2020   19:11 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Samuel Silitonga at Pexels

1) Pagi
Pagi jatuh dengan tergesa-gesa. Seperti anak gadis yang dipingit dasawarsa. Menunggu. Bab-bab terakhir dari buku yang ditulis oleh masa lalu. Mata yang menyiratkan halaman-halaman berkabut. Mulai sirna dihangatkan cahaya. Bibir yang lupa bagaimana cara tersenyum. Terlihat bahagia mengeja kehadiran satu demi satu kawanan embun.

2) Purnama
Tengah malam tadi. Purnama tumbuh sempurna seperti ladang padi. Pada musim panen. Di musim ketika cuaca tak lagi berfragmen. Langit sedemikian jernih. Seolah cermin yang baru disepuh emas putih. Awan-awan yang tersisa setelah sekian lama dilangsir hujan. Memagari seluruh samudera kebahagiaan. Dari siapapun yang hatinya berada di wilayah kerinduan.

3) Pucuk Cemara
Dan pucuk Cemara melemaskan ruas jari-jari daunnya. Ditiup angin lembut dari kepak sayap kupu-kupu. Menyapa segala macam rencana. Dari siapa saja yang hendak menjemput hari-harinya. Dengan rasa bahagia. Meskipun semua tahu. Bahwa rencanapun bisa berubah menjadi gagu. Ketika sandyakala mengambil alih renjana. Ke dalam ruang-ruang kegelapan dari segenap rahasia.

Bogor, 2 Oktober 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun