Kau mengadu kepada senja saat ia sedang cukup berbisa.
Bagimu aku adalah lelaki berbahaya. Menyemai hujan sederas-derasnya tanpa gerimis yang menyela, lantas menanamnya di ujung mata agar kelak bisa memanen airmata. Sebanyak-banyaknya;
Persembahan bagi kemarau panjang yang sangat mungkin menghilangkan jejak-jejak rindu yang tak kentara.
Setelah itu menjerang cahaya matahari lalu menyeduhnya di kedalaman hati. Untuk bergelas-gelas kopi yang disuguhkan saat sunyi. Kepada para bidadari yang menyukai sajak-sajak liris tentang kejadian-kejadian katarsis. Saat menyinggahi bumi mencari-cari sisa kalimat romantis;
Betapa sarkastis jika sajak-sajak liris dituduh dan diadili sebagai penyebab katastrofi tangis.
----
Bagiku aku memang lelaki berbahaya.
Seringkali aku menghela cuaca agar menyertai perjalanan perempuan pencari cinta. Memayunginya dalam terik yang menyengat. Memberinya pesan lewat hujan agar tak salah alamat. Kemudian mempersembahkan bunga-bunga beraroma malam supaya sepi segera lenyap. Sehingga ruang-ruang hatinya tak lagi dirundung senyap.
Bagiku, perempuan yang menyimpan senja di jiwanya, mesti duduk di kursi paling depan pada pementasan orkestra puisi. Menikmati setiap aliran irama yang menari-nari. Juga nada-nada tinggi untuk mengusir kemasgulan. Ketika pertunjukan cinta lebih sering membawanya pada ratapan. Terisak-isak dalam penyesalan. Tak berakhiran.
----
Karena itulah aku menjadi lelaki berbahaya.
Sebab aku menandai setiap tanda baca dari sajak dan puisi yang semakin menua. Dengan cinta yang tak sedikitpun memberi kesempatan ingatan akan lupa.
Terhadap cintanya yang tak sempurna namun juga tak mengada-ada. Apa adanya. Sampai kelak aku tak lagi berbahaya dan senja tak kembali berbisa.
Jakarta, 1 April 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI