Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tetralogi Air dan Api, Petualangan Cinta Air dan Api

2 Januari 2019   08:55 Diperbarui: 2 Januari 2019   09:36 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arya Dahana menghentikan kalimatnya sejenak.  Nafasnya terengah engah saking menahan amarah yang masih menjelajahi perasaannya.

"Kalau hanya karena aku yang menjadi penyebab kalian mau saling bunuh.  Kalian salah besar.  Aku tidak layak untuk menjadi sebuah alasan.  Aku hanya anak tanpa ibu bapa, tanpa harta, tanpa istana.  Aku menyayangi kalian seperti aku menyayangi udara pagi.  Kalian memberi kesegaran tanpa imbalan.  Aku menyayangi kalian seperti aku menyayangi hujan yang turun di musim kemarau.  Kalian memberi hidup sawah dan ladang dengan kemuliaan......aaaahhhh kalian membuatku sedih. Kalian menodai arti sebuah perjuangan, kalian membuat hatiku jatuh di jurang sedalam jurang Tawangmangu...."

Serentak Dyah Puspita dan Dewi Mulia Ratri mengangkat muka. Kedua wajah cantik itu dibasahi airmata.  Dewi Mulia Ratri bahkan terisak isak.  Kedua gadis cantik itu tanpa sadar lagi memegang kedua tangan Arya Dahana.  Dua pasang mata itu menunjukkan rasa yang tidak bisa diterjemahkan oleh seorang ahli cinta sekalipun saking dalamnya.

Arya Dahana menjadi terharu.  Isak penyesalan yang keluar dari mulut mulut manis itu terasa sekali menyedot sukma.   Diremasnya kedua tangan lembut Dyah Puspita dan Dewi Mulia Ratri.  Jika tidak ada Bimala Calya, ingin dia memeluk dua gadis yang selalu menganggu ketenangan jiwanya ini.  

Namun Bimala Calya bisa terluka.  Dia tidak ingin lagi menjadi penyebab hancurnya hati seorang wanita.

Arya Dahana membimbing kedua gadis itu kembali duduk.  Dilambaikan tangan kepada Bimala Calya.  Memberi isyarat agar ikut duduk bersama mereka.  Ketiga gadis itu sekarang duduk melingkari Arya Dahana.  Menunggu apa lagi yang akan disampaikan pemuda ini.

Dan yang terjadi adalah.....hening lagi.  Arya Dahana malah menggaruk garuk kepalanya yang tidak gatal.  Mencoba tersenyum manis.  Namun yang keluar adalah senyum terjelek yang pernah ada di dunia.  Membesarkan hatinya dengan batuk batuk tertahan.  Lalu mencoba tersenyum lagi.  Hasilnya adalah senyum yang lebih jelek lagi.

Ketiga gadis yang tadinya sudah bersiap hanyut dalam rangkaian kalimat mengayun ayun.  Kini saling pandang sambil merengut sebal.  Pemuda ini kembali menjadi orang tengil dan menyebalkan.  Tanpa janjian sebelumnya, ketiga gadis ini bangkit serentak, melengos kesal kemudian berjalan pergi tanpa peduli pada Arya Dahana lagi.

Yang ditinggal hanya bisa melongo.  Namun menyaksikan ketiga gadis itu pergi bersama sama, lalu dilihatnya duduk di bawah perdu lebat dan kemudian bercakap cakap lirih, membuat pemuda ini sangat lega.  Dia mengayunkan langkah mencari ranting ranting kering untuk persiapan nanti malam. 

Ketiga gadis itu saling pandang satu sama lain ketika melihat Arya Dahana pergi menghilang di kegelapan semak dan perdu.  Dewi Mulia Ratri memegang tangan Dyah Puspita.

"Kakak Puspa, maafkan aku.  Aku tadi terbawa perasaan tidak karuan. Kamu adalah gadis yang baik.  Aku sebenarnya tidak ingin menyakitimu.."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
  20. 20
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun