Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Bagaimana Cara Memulung Arti Sebuah Puisi?

17 Desember 2018   21:57 Diperbarui: 17 Desember 2018   22:31 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Cermin
Sebelum menulis, saya selalu memalingkan muka pada cermin apa saja di sekitar saya. Saya ingin meyakinkan diri melalui raut muka; benarkah saya akan menulis ini? Mengulas yang itu? atau berteori baru?

Atau jangan-jangan saya hanya menjadi petunjuk jalan dari sebuah gang buntu? Siapa tahu begitu.

Saya selalu bercermin sebagai ritual sederhana agar saya tidak sekedar membuang isi kepala yang tak seberapa ke sebuah tulisan yang ngayawara.

Kembali kepada judul artikel. Bagaimana cara memulung arti dari sebuah puisi? Betapa anehnya judul tulisan itu. Apakah tidak ada yang lebih baik dari kata memulung? Seolah arti puisi hanya ceceran kata-kata bekas yang hendak didaur ulang.

Jangan salah sangka. Saya sengaja meletakkan kata "memulung" pada judul di atas untuk memastikan sebuah "Hak". Orang pertama yang ber"Hak" mengartikan sebuah puisi adalah si pereka puisi. Oleh karena itu jelas bahwa arti yang sesungguhnya adalah milik si empunya tulisan. Tidak bisa ditawar! Walau oleh orang sekelas Khalil Gibran atau Chairil Anwar.

Setelah hak utama diberikan, maka selanjutnya pembaca diberikan sisa hak selanjutnya untuk mengartikan. Bebas, pantas, brutal, binal, itu hak pembaca untu memulungnya.

Nah, di sinilah saya mulai mengira-ngira apa sesungguhnya yang terjadi.

Memulung Arti Puisi
Di bawah ini adalah beberapa tahapan indera dalam memulung arti puisi. Sederhana, umum dan biasa. Tidak ilmiah, di luar pakem dan cukup liar. Harap dimaklumi. Keinginan otak tidak bisa dibatasi. Bahkan oleh polisi. Namun paling tidak ini bisa dijadikan salah satu referensi;

Fase Mata
Saat mata kita mengurai satu demi satu rangkaian diksi dalam puisi, saat itulah intuisi kita sebagai pembaca bekerja. Mata adalah filter pertama yang menentukan. Sepasang mata yang terbiasa membaca puisi akan berhasil menangkap tak lebih dari 25% dari arti puisi pada bacaan pertama!

Selanjutnya mata menangkap seberapapun arti puisi yang berhasil dipindai itu lalu mencetaknya dalam otak. Seketika itu juga!

Pada sebuah puisi yang pendek atau ringkas, proses scanning arti oleh mata ini bisa saja cuma sekali. Pada sebuah puisi yang panjang dan berbentuk naratif, proses ini bisa terjadi berulangkali sebelum akhirnya filter selanjutnya terjadi;  

Fase Hati
Di sinilah inti memulung arti puisi. Setelah mata memindai dengan kecepatan tinggi, hasil pindaian dikirimkan ke dalam hati. Jika sebelumnya pencapaian mengartikan puisi tak lebih dari 25%, maka pada proses ini tingkat keputusan berada pada rentang 90-100%.

Saya menyebutnya keputusan. Karena mengartikan sebuah puisi memang membutuhkan keputusan. Keputusan dari pembaca apakah semua sudah usai atau masih membutuhkan proses selanjutnya;

Fase Mulut
Fase ini hanya akan dilalui jika Fase Hati tidak sanggup mengambil keputusan. Para pembaca yang penasaran biasanya melakukan fase ini untuk meyakinkan diri agar terlahir sebuah keputusan. Deskripsinya begini;

Seorang pembaca yang sangat penasaran pada arti sebuah puisi biasanya akan membaca berulang-ulang. Sekali, dua kali, tiga kali dan seterusnya sampai Fase Mata berada pada titik pindai maksimal 25%.

Kemudian si pembaca akan menjaring arti puisi tersebut pada Fase Hati. Juga berulangkali. Jika tidak sanggup juga memutuskan, atau belum mencapai 100% dari arti, maka mulut mengambil peran sebagai pengambil keputusan.

Pembaca akan membaca ulang puisi tersebut dengan bersuara! Dengan bantuan suara biasanya sisa arti yang belum tertangkap akan mudah diperangkap.

Buktikan saja!

Akhirnya
Tidak terlalu rumit untuk mengartikan sebuah karya puisi. Tidak rumit di sini karena kita diberikan kebebasan tanpa batas untuk mengartikannya. Kita bisa mengartikan apa saja. sesuai dengan mata saat membaca, hati saat memberinya arti, dan mulut saat keputusan masih berkabut.

Satu hal yang perlu diingat adalah, kebenaran absolut dari arti puisi tersebut hanya milik sang pereka puisi. Karena kita sebagai pembaca tak akan sanggup sedikitpun menyelami kedalaman hati.

GA 198, 17 Desember 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun