Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Musim Bergeser ke Tepi

23 September 2018   13:55 Diperbarui: 23 September 2018   14:08 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ini saat yang tepat bagi siapa saja.  Menggulung doa dalam perkamen permintaan akan hujan, memanjati angkasa.  Panas telah melampaui derajat kemampuan.  Kering telah menghanguskan kenyataan.  Cuma sisa satu.  Yaitu menjadi abu.  Itu terserah waktu.

Doa-doa cemara berkumpul di persimpangan langit.  Menunggu doa-doa lainnya.  Memohon hujan bukan perkara kecil.  Permintaannya sungguh besar. Sebesar retakan tanah di sawah-sawah yang menjadi amuba.  Membelah dirinya. Dengan sengaja.

Sayap-sayap kemarau sudah sampai di ulu hati.  Jiwa dan badan mengeriput ciut.  Apakah musim hujan sedang berduka? Terpekur di depan pusara cuaca.  Sehingga lupa bagian bumi di sini nyaris saja mati?

Jika iya, jangan hanya cemara yang mesti mengirimkan doa.  Kita juga.  Para pembuat luka yang sengaja lupa.  Telah menyeret cuaca ke upacara pemakamannya.  Dengan cara-cara keji.  Meski tak disadari.  Atau disadari tapi enggan mengerti.  Atau mengerti tapi tak mau peduli.  Bisa jadi.

Jika tidak, ini hanyalah anomali.  Musim bergeser ke tepi.  Menuju cara kematiannya sendiri.

Bogor, 23 September 2018

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun