Sesungguhnya. Â Selalu ada cermin di hati kita. Â Disusun dari pecahan rencana. Â Lalu digabungkan dengan warna yang berhasil ditangkap mata. Â Bingkainya terbuat serpihan. Â Dari remah-remah hujan yang dikumpulkan.
Cermin itu tidak memantulkan bayangan.  Namun bentukan dari setiap fragmen hidup yang dimainkan.  Mata tidak mensimetri mata, tapi berupa senja, bianglala dan rebana.  Mulut tidak menggambar balik mulut,  tapi  berbentuk kata, sumpah dan janji yang luput.  Tubuh tidak melukis kan tubuh, tapi menyajikan analogi tentang kebaikan, keburukan dan kekacauan yang rubuh.
Cermin itu tidak mengulas kenangan. Â Namun lebih berbicara tentang masa depan. Â Lompatan-lompatan waktu di antaranya, mengatur agar masa depan bukan lagi pertanyaan, tapi sebuah kisah yang telah terpetakan.
Cermin itu ada dalam diri kita. Â Seringkali tanpa disadari. Â Nyaris mirip mitologi. Â Ada jika mempercayai, tak ada jika tak meyakini. Â Semudah bersiul saat pagi. Â Sekaligus serumit menyusun puzzle yang dicerai berai mimpi.
Cermin di hati kita. Â Ibarat telaga tempat langit berkaca. Â Terkadang hanya kekosongan yang ada. Â Atau justru kepadatan yang mengada-ada.
Tergantung seberapa jauh jarak kita menginginkannya. Â Dan seberapa dalam kita meletakkannya.
Jakarta, 13 Juni 2018