Aku mendengar kabarmu. Â Dari senja yang terpeleset di para-para rumah. Â Kau hampir meradang. Â Mendengar bisikan angin yang tersesat. Â Katanya, aku ingin pulang.
Kau masih ingin bersama angin itu. Â Melepaskan lelahmu yang sampai ke tulang. Â Menyusup lama di sana. Â Bersama sungsum dan darah yang membeku. Â Karena pilu.
Akulah penyusup itu. Â Bersembunyi tapi diam-diam mengasihimu. Â Aku nyaman di situ. Â Seperti bunga sepatu yang mekar tanpa harus diberitahu.
Jika kau masih bersitegang dengan angin. Â Itu berarti kau melupakan sesuatu. Â Angin itu yang dulu menolongmu. Â Saat diam menyuruhmu membatu. Â Di separuh perjalanan usiamu.
Aku ingin mendengar kabarmu lagi. Â Sebelum aku pergi menenggelamkan diri. Â Di tumpukan kertas puisi.Â
Aku akan kirimkan satu judul yang belum selesai kutulis. Â Di antara suara gerimis yang sesenggukan menangis.Â
Inilah sebagian baitnya; Â Sampaikan rindumu segera sebelum kau lupa bagaimana rasanya. Â Simpan di hati dengan cara paling sederhana. Â Setelah kau paham rindu itu sesungguhnya adalah raja dan kau adalah sahaya di depannya.
Jakarta, 22 Maret 2018