Mohon tunggu...
Miftahul Abrori
Miftahul Abrori Mohon Tunggu... Freelancer - Menjadi petani di sawah kalimat

Writer & Citizen Journalist. Lahir di Grobogan, bekerja di Solo. Email: miftah2015.jitu@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerbung | Kemarau Sang Perawan (Part 3)

4 Februari 2020   18:46 Diperbarui: 4 Februari 2020   18:45 463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi diolah dari pixabay

Prasetyo terdiam dalam sekian detik. Mulutnya terkunci, tak mampu melanjutkan kalimat. Padahal baru saja ia memaparkan penolakan rencana proyek pabrik semen di bukit Sigit.

Baca: Kemarau Sang Perawan Part 1

Pernyatan lik Sutris membuat jantungnya berdegung kencang menahan amarah. Darahnya mendidih. Seketika pandangannya kosong. 

Ia tak peduli dengan rapat yang masih berjalan. Lik Sutris menyebut Anik, kekasihnya sebagai perawan hamil tanpa suami di desanya. Pantas saja mbah Hadi dan ayahnya berkelit ketika Pras menanyakan tentang kebenaran kabar tersebut. 

Baca: Kemarau Sang Perawan Part 2

Pras masih terngiang-ngiang perkataan lik Sutris jika Anik dianggap sebagai malapetaka. Anik disebut sumber kutukan sehingga kemarau panjang menjelma bencana yang harus ditanggung seluruh warga. 

Rapat ditutup dengan pernyatan pak Baskoro mewakili pemerintah kabupaten. 

"Baiklah, kami akan meninjau kembali wacana proyek pabrik semen. Kami justru tertarik dengan usulan mas Prasetyo terkait paket wisata di kawasan Sigit." 

*** 

Selesai rapat Prasetyo mengajak lik Sutris berbincang- incang di warung kopi dekat pasar. 

"Panjenengan tadi bilang Anik hamil. Benar ta, Lik?"

Lik Sutris menatap iba pada Pras. Lelaki mana yang rela, sang kekasih yang ditinggal di desa ternyata berbadan dua, dan itu bukan darah dagingnya.

Lik Sutris menyeruput kopi hitam yang disuguhkan Yu Warti, pemilik warung.

Setelah beberapa tegukan kopi, Sutris masih tak tega menyampaikan berita yang pasti bakal tambah mengguncang perasaan Prasetyo.

"Duduk dulu, Pras. Kuatkan hatimu," kata Sutris sambil menikmati sebatang rokok kretek.

Asap rokok dari mulut Sutris beterbangan menyatu dengan kepulan asap kopi. "Benar. Anik pacarmu itu, perawan hamil di desa kita," kata Sutris.

Langit seakan runtuh menimpa kepala Pras. Bukit Sigit seakan menimpa tubuhnya. Ia tak ingin mempercayai apa yang dikatakan lik Sutris. Namun, ia tahu bahwa tetangga depan rumahnya itu tak mungkin berbohong.

Anik Setyaningrum, nama lengkapnya. Pras berjanji akan melamarnya kalau ia sudah lulus kuliah. Tentu itu harus menunggu beberapa tahun lagi.

Kata lik Sutris, Anik tak pernah berterus terang tentang siapa lelaki yang menyebabkannya hamil. 

Lik Sutris menyarankan Pras meninggalkan kampung karena warga mencurigai Pras yang menghamili Anik. 

"Mana mungkin saya yang menghamili Anik, Lik!" Pras membela diri.

"Mana tahu begitu, Pras. Pergaulan anak muda sekarang kadang keblabasan."

***

Malam itu, dengan sisa-sisa kekuatan dan sepenuh ketabahan Pras menemui Anik di rumahnya. Sepasang kekasih yang remuk-redam bertemu dengan perasaan kikuk. 

Meski hati Pras hancur, ia menata hati menemui kekasihnya itu. 

"Pras, aku ikut kamu ke Solo," kata Anik dengan suara lirih. 

"Mengapa?" 

"Kowe isih sayang aku ora?"

"Isih lah." 

"Aku ingin menggugurkan bayi ini lalu menikah denganmu." 

"Kowe edan po? Katakan saja siapa yang menghamilimu. Dia harus menikahimu! Kamu tinggal bilang siapa, aku yang akan menyuruhnya bertanggung jawab." 

"Tak ada satu pun wanita yang mau menikah dengan lelaki pemerkosa, lelaki bajingan! Kamu ingin aku menderita seumur hidup?! Kamu pikir dengan menjadi istrinya aku akan terbebas dari penderitaan ini. Tidak!!" 

"Tapi tidak dengan membunuh bayi tak berdosa!"

"Aku tak menghendakinya."

"Janin di perutmu itu tetap darah dagingmu!"

Anik tertunduk. Ia mengelus perutnya denga perasaan perih.

"Lalu apa kata orang-orang nanti jika kamu ikut aku ke Solo. Apalagi jika kamu berniat membunuh bayimu. Kamu harus menikah dengannya." 

"Tidak! Aku hanya ingin menikah denganmu. Itu pun kalau kamu masih menerimaku, perempuan nelangsa. Perempuan yang menanggung malu atas kebiadan lelaki brengsek."

Tak lama kemudian pintu rumah digedor sekelompok warga.

"Pras, keluar kau sekarang! Kami tahu kamu di rumah Anik," teriak seorang warga.

"Laki-laki harus bersikap jantan. Berani berbuat, berani bertanggungjawab," warga lain ikut berteriak.

"Kalian bisa diam tidak. Kita ini bertamu ke rumah orang. Semua bisa diobrolkan baik-baik," sergah Wiryo, ketua RT.

Danutirta, ayah Anik membuka pintu rumahnya melihat kegaduhan.

"Monggo pinarak. Tidak perlu teriak. Saya sadar anak saya menanggung aib, tapi tidak perlu panjenengan semua mempermalukan kami seperti itu," kata Danu.

"Maafkan kami, Pak Danu. Warga ingin meminta penjelasan dari Pras, apa brnar dia yang menghamili Anik," kata Wiryo.

Pak RT dan warga dipersilakan masuk rumah oleh Danu. Kemudian ia meminta Anik dan Pras duduk berjejer di ruang tamu.

Pras merasa menjadi pesakitan selayak terdakwa di persidangan. Dalam hati ia berkhayal seperti ini kah rasanya duduk berdampingan di pelaminan bersama Anik? Disaksikan banyak orang yang antri memberi restu. 

Tapi malam itu bukanlah pesta perkawinan melainkan malam pertaruhan dan pembuktian. Pertaruhan apakah benar Anik layak dipertahankan, pembuktian bahwa Pras bukanlah pencipta aib yang mencoreng martabat keluarga, merusak nama baik desa. (Miv)

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun