Kami berlima---aku, Raka, Leni, Iqbal, Dito---berencana menghabiskan akhir pekan dengan berkemah di hutan lereng Gunung M---tempat yang katanya "belum banyak dijamah orang."
Raka yang paling bersemangat.Â
"Gak usah lebay," katanya waktu aku tanya soal pantangan di sana.Â
"Itu cuma cerita warga lokal buat nakut-nakutin."
Kami tiba di sore hari.Â
Hutan itu... terlalu sunyi.Â
Tidak ada suara burung.Â
Tidak ada angin.Â
Seperti semuanya menahan napas.
Tapi kami tetap pasang tenda.Â
Malam pun datang.
Dan di situlah semuanya berubah.
Api unggun kami menyala kecil.Â
Raka mulai cerita-cerita horor receh.Â
Tapi Leni mendadak pucat.Â
"Siapa yang barusan jalan di belakang tenda?" katanya pelan.
Semua langsung diam.
Kami melihat ke belakang.
Kosong. Hanya bayangan pepohonan.
"Kau pasti salah liat," kata Dito.
Tapi malam itu... ada yang berubah.
Jam 01.13 dini hari.
Aku terbangun karena suara bisikan.
Bukan mimpi.Â
Bukan suara angin.
"Keluar... giliranmu..."
Suaranya berasal dari luar tenda.
Tapi juga... seperti dari dalam kepalaku.
Raka hilang pertama.Â
Kami pikir dia ke sungai.Â
Tapi setelah dua jam tak kembali, kami mulai panik.
Leni menangis.Â
Iqbal pegang senter sambil gemetar.Â
Dito tetap tenang... sampai dia lihat sesuatu di dalam api unggun :
Wajah Raka.
Terbakar, tapi matanya... masih berkedip.
Kami berlari ke dalam tenda.
Tapi satu per satu, kami mendengar nama kami dipanggil.
Suara yang sama.
Pelan.Â
Dekat.Â
Penuh nafsu haus.
Dito keluar malam kedua.Â
"Aku gak tahan. Aku denger ibu gue manggil..."
Dia tak pernah kembali.
Hari ketiga, hanya aku dan Leni.
Kami duduk diam, tanpa tidur, tanpa bicara.
Jam 02.44, suara itu datang lagi.
Tapi kali ini bukan dari luar.Â
Dari dalam tenda.
Leni menjerit. Cahaya lentera mati.
Saat aku nyalakan senter...
Leni menggantung terbalik.Â
Di dalam tenda.
Tubuhnya tergantung tapi...
wajahnya masih menatapku.Â
Bibirnya bergerak.
"GILIRANMU."
Sekarang aku sendirian.
Sudah hari keempat.
Aku duduk di samping api unggun yang terus menyala, walau tak ada kayu tersisa.
Suara itu sudah tak memanggil lagi.
Karena aku tidak menolak.
Karena aku sudah tahu...
AKU YANG MENYALAKAN API UNGGUN TERAKHIR.
...
...
...
...
...
CATATAN PETUGAS PENYELAMAT :
Ditemukan seorang pria di tengah hutan Gunung M, duduk diam menghadap api unggun yang menyala dari... tulang manusia.
Ia hanya berkata satu kalimat :
...
...
...
"Gak ada yang boleh pulang sebelum dipanggil."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI