Mohon tunggu...
M. Fajar Agustus Putera
M. Fajar Agustus Putera Mohon Tunggu... Guru

seorang guru dan content writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bulan yang Menyatukan

22 Maret 2025   01:31 Diperbarui: 22 Maret 2025   16:32 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulan yang Menyatukan (sumber:pexels.com)

 

Senja mulai merangkak saat langit berubah jingga. Di teras rumah kayu yang dicat hijau muda, Nenek Salma duduk di kursi goyangnya, matanya tak lepas dari jalan setapak di ujung gang. Tangannya menggenggam tasbih usang, biji-bijian kayunya berderik pelan. "Dia pasti datang," gumamnya, seperti mantra yang diulang setiap tahun.

Di dapur, Laras dan kakaknya, Arman, sibuk menyiapkan hidangan buka puasa. Aroma gulai ayam dan kolak pisang memenuhi udara. "Nenek masih menunggu Alif?" tanya Arman sambil mengaduk santan. Laras menghela napas. "Sejak tadi pagi. Aku sudah bilang, Alif sibuk dengan proyek kantornya di kota. Tapi Nenek tak mau dengar."

Alif, si bungsu, adalah anak emas Nenek Salma. Tiga tahun terakhir, ia selalu absen pulang saat Ramadan dengan alasan pekerjaan. Padahal, dulu dialah yang paling bersemangat menghias rumah dengan lentera dan menyusun jadwal mengaji bersama.

Pukul 17.48, adzan magrib berkumandang. Keluarga itu duduk melingkar di meja makan, tapi satu kursi tetap kosong. Nenek Salma memandangi kurma di piringnya tanpa menyentuhnya. "Dia janji akan cubit kue nastar buatanku tahun ini," bisiknya lirih.

Tiba-tiba, derap motor terdengar dari luar. Seorang lelaki bertopi baseball berlari masuk dengan kardus besar di tangan. "Maaf telat! Jalan tol macet parah!" seru Alif, napasnya tersengal. Nenek Salma bangkit begitu cepat untuk usianya yang 70 tahun. Tangannya yang keriput menepuk-nepuk bahu cucunya siniar, "Dasar anak sialan! Kupikir kau lupa jalan pulang!"

Malam itu, usai shalat Tarawih berjamaah di musholla kecil dekat rumah, mereka duduk di teras ditemani teh hangat. Alif mengeluarkan drone dari kardusnya. "Aku rekam kegiatan kita tiap hari sampai Lebaran. Nanti bisa kita tonton bersama saat Nenek sudah mulai pikun," godanya. Arman menyodok lengannya, tapi Nenek justru tertawa terkekeh.

Di tengah obrolan tentang kenakalan masa kecil mereka, Laras menyadari sesuatu. Lentera kertas warna-warni yang digantung Alif di plafon teras membentuk bayangan seperti rangkaian bintang di lantai. Angin malam membawa aroma bunga kantil yang mekar di pagar, menyatu dengan gema tawa yang tiga tahun terakhir hilang dari rumah ini.

Keesokan pagi, Nenek Salma membangunkan Alif untuk sahur dengan mengetuk-ngetuk panci bekas. "Bangun! Kau pikir Ramadan cuma datang setahun sekali untuk kau lewatkan dengan tidur?!" hardiknya, tapi matanya berbinar. Di meja makan, keluarga itu bersandar pada tradisi sederhana: berbagi cerita, menyepakati menu buka puasa, dan berebut terakhir kali cuci piring.

Ramadan kali ini terasa seperti jahitan yang menyambung kembali kain yang mulai terurai. Meski tahu Alif akan kembali ke kota setelah Lebaran, mereka sepakat: selama bulan suci ini, tak ada yang lebih penting dari suara tertawa yang bersatu di bawah satu atap.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun