Mohon tunggu...
Aulia M. Firmundia
Aulia M. Firmundia Mohon Tunggu... -

meytrias.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Halo, Nyaman

14 April 2014   05:55 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:42 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Namanya Nyaman, entah kapan dia tiba-tiba menghilang. Aku tak pernah lagi bertemu dengannya, saat aku bertemu Elia. Elia gadis yang sangat menyenangkan. Waktuku tiba-tiba berlari begitu cepat, hingga akhirnya dentang jam menandakan bahwa sudah saatnya angkat kaki. Kami tidak berbicara banyak, tapi mata dan tubuh kami saling mengerti. Kami terlalu paham bahwa kicauan kata tak berarti apa-apa jika hanya dusta yang mengalir. Dan kami muak dengan itu semua.

Tapi aku merindukan Nyaman. Elia tidak akan tahu, karena menurutnya aku pasti sudah cukup bahagia untuk bisa ada disampingnya. Kami tidak bertemu setiap hari. Hanya setiap Jumat sore, disaat senja mulai menghilang malu-malu, dengan dua cangkir kopi mengepul dalam cangkir, sofa yang nyaman, mata beradu pandang, dan arah kaki yang mengatakan ketertarikan.

Setelah itu, hanya kami yang tahu.

Aku akui, Elia seperti 'liburan' untukku. Setelah dunia mempekerjakan aku agar kehidupan terus bergerak, aku muak dan ingin merangkak dari sana. Mungkin filsuf bernama Sartre itu benar, neraka adalah orang lain. Yang lain akan menjadikanmu objek, dari sudut manapun kau melihatnya. Itu memang benar.

Dan dengan Elia aku bebas. Kami tidak butuh keterikatan yang membelenggu. Kami tidak pernah tahu hidup masing-masing. Tapi kami tau kami muak dengan panggung dunia ini, dan kami ingin menyeruak dari atas panggung. Kami bebas saat kami bersama.

Tapi lagi-lagi, aku merindukan Nyaman.


Jumat sore. Aku tengah menunggu Elia. Aku tahu dia tidak akan datang dalam waktu dekat, karena aku memang datang lebih awal. Entahlah, aku ingin menyendiri dulu. Tempat ini belum ramai. Hanya ada sepasang muda-mudi dan suami istri yang membawa anaknya yang kira-kira berusia 4 tahun. Anak itu berjalan kemana-mana, tidak mau diam. Suasana sepi yang aku idamkan buyar sudah. Rasa jengkel memenuhi dadaku, tapi apa mau dikata. Aku tidak mungkin menceramahi anak kecil. Mendesah kesal, aku lirik kedua orangtuanya. Mereka masih muda. Dalam hati aku menggerutu, harusnya mereka bisa menjaga anaknya!

Dalam kekesalanku, tiba-tiba anak itu mendekatiku. Aku memandanginya heran. Aku bukan tipe orang yang mudah luluh dengan anak kecil, lalu bertingkah laku imut untuk membujuk mereka. Tapi harus aku akui, anak kecil ini memiliki mata besar yang meneduhkan. Mata itu melihatku lekat-lekat, seperti heran.

Berbeda dengan mata Elia.

Tapi rasanya seperti Nyaman.

Aku tidak berkata apa-apa. Dia masih memandangiku, lalu melihat gantungan kunci mobilku yang tergeletak diatas meja. Sebuah miniatur pedang kecil yang diberikan temanku sebagai oleh-oleh. Anak kecil itu memegangnya,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun