Ketika Keberanian Politik Bertemu Kecerdasan Algoritmik
Di satu sisi dunia, seorang gubernur menolak anggaran survei jalan Rp1,7 miliar dan mengajak warga melaporkan langsung lewat media sosial. Â
Di sisi lain, sebuah negara menunjuk sistem kecerdasan buatan sebagai menteri karena dianggap tak bisa berbohong, tak bisa berkolusi, dan tak punya kepentingan pribadi.
Sherly Tjoanda dan Diella bukan sekadar tokoh. Mereka adalah dua gugatan terhadap birokrasi lama yang lamban, mahal, dan sering kali tidak jujur. Â
Yang satu manusia, yang satu mesin. Tapi keduanya lahir dari satu sumber: ketidakpercayaan publik terhadap sistem yang sudah terlalu lama meminggirkan suara warga.
Titik Awal: Ketika Rakyat Tak Lagi Percaya
Diella diangkat sebagai menteri transparansi publik di Albania bukan karena kecerdasannya, tapi karena ketidakberpihakannya. Ia tidak punya keluarga politik, tidak bisa disuap, dan tidak bisa berbohong. Â
Diella adalah jawaban atas korupsi yang telah lama mengakar, bukan solusi sempurna, tapi simbol bahwa kejujuran bisa diprogram.
Sherly Tjoanda, Gubernur Maluku Utara, menolak survei jalan mahal dan mengajak warga mengirim video laporan lewat media sosial. Â
Tanpa vendor. Tanpa protokol. Tanpa honor. Â
Hasilnya? 270 laporan masuk dalam waktu singkat. Gratis. Cepat. Jujur.
Menurut BPKP (2023), rata-rata biaya survei infrastruktur di Indonesia mencapai Rp2,1 miliar per provinsi per tahun. Crowdsourcing berbasis media sosial bisa memangkas biaya hingga 90% jika dikelola dengan sistem verifikasi yang baik.
Teknologi: Alat yang Tunduk pada Niat
Diella bukan sekadar AI. Ia adalah simbol bahwa teknologi bisa menggantikan manusia, jika manusia tak lagi bisa dipercaya. Â
Namun sistem AI juga bisa keliru, bahkan menciptakan fakta palsu seperti yang terjadi dalam kasus hukum Mata v. Avianca di Amerika Serikat, ketika ChatGPT mengarang referensi hukum yang tidak pernah ada.
Sherly tidak menggunakan AI. Ia menggunakan akal sehat. Â Ia percaya bahwa warga, jika diajak dengan jujur, akan bergerak tanpa dibayar. Â
Teknologi yang ia pakai bukan canggih, tapi cukup: kamera ponsel, sinyal 4G, dan semangat gotong royong.
Survei APJII (2024) menunjukkan bahwa 78,19% warga Indonesia sudah terhubung ke internet, dan 94% di antaranya aktif di media sosial. Artinya, potensi partisipasi digital sudah ada, tinggal kemauan politik yang harus menyusul.
Risiko: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Diella tidak bisa menyesal. Ia tidak bisa menangis. Ia tidak bisa memahami konteks sosial. Â
Jika ia salah menilai tender publik, siapa yang bertanggung jawab? Â
Bisakah akuntabilitas diserahkan kepada mesin?
Sherly mengandalkan laporan warga. Tentu ada risiko hoaks, duplikasi, atau manipulasi. Â
Tapi karena prosesnya terbuka, risiko bisa dikelola bersama. Â Dan yang lebih penting: warga merasa dihargai.
Mungkinkah Terjadi di Indonesia?
Diella adalah cermin masa depan birokrasi digital. Â Sherly adalah cermin masa kini yang sedang tumbuh. Â
Keduanya menunjukkan bahwa kepercayaan publik bisa dibangun, baik lewat algoritma maupun lewat ajakan sederhana di media sosial.
Tapi pertanyaannya bukan hanya "mungkinkah?" Â
Pertanyaannya adalah: siapa yang berani?
Penutup: Raga Mesin, Jiwa Manusia
Bayangkan jika Diella punya semangat Sherly.
Bayangkan jika algoritma yang jujur dipandu oleh keberanian politik yang manusiawi. Â
Bayangkan jika birokrasi digital tidak hanya cepat, tapi juga empatik.
Karena lubang paling berbahaya bukan di jalan raya, Â melainkan di kas negara, Â di hati birokrasi, Â dan di kepala kita sendiri, jika kita biarkan demokrasi hanya jadi tontonan.
Penulis: Merza Gamal (Pemerhati People Transformation Gen Z & Alpha)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI