Diella bukan sekadar AI. Ia adalah simbol bahwa teknologi bisa menggantikan manusia, jika manusia tak lagi bisa dipercaya. Â
Namun sistem AI juga bisa keliru, bahkan menciptakan fakta palsu seperti yang terjadi dalam kasus hukum Mata v. Avianca di Amerika Serikat, ketika ChatGPT mengarang referensi hukum yang tidak pernah ada.
Sherly tidak menggunakan AI. Ia menggunakan akal sehat. Â Ia percaya bahwa warga, jika diajak dengan jujur, akan bergerak tanpa dibayar. Â
Teknologi yang ia pakai bukan canggih, tapi cukup: kamera ponsel, sinyal 4G, dan semangat gotong royong.
Survei APJII (2024) menunjukkan bahwa 78,19% warga Indonesia sudah terhubung ke internet, dan 94% di antaranya aktif di media sosial. Artinya, potensi partisipasi digital sudah ada, tinggal kemauan politik yang harus menyusul.
Risiko: Siapa yang Bertanggung Jawab?
Diella tidak bisa menyesal. Ia tidak bisa menangis. Ia tidak bisa memahami konteks sosial. Â
Jika ia salah menilai tender publik, siapa yang bertanggung jawab? Â
Bisakah akuntabilitas diserahkan kepada mesin?
Sherly mengandalkan laporan warga. Tentu ada risiko hoaks, duplikasi, atau manipulasi. Â
Tapi karena prosesnya terbuka, risiko bisa dikelola bersama. Â Dan yang lebih penting: warga merasa dihargai.
Mungkinkah Terjadi di Indonesia?
Diella adalah cermin masa depan birokrasi digital. Â Sherly adalah cermin masa kini yang sedang tumbuh. Â