Gegar dunia maya melekat dalam hidup tanpa sekat, saking tak ada sekat, lahir ketiadaan batas. Ketiadaan batas melahirkan kehidupan baru di luar realitas. Dunia tak nyata yang tak bisa melahirkan fakta.
Berjalan tanpa menjejakkan kaki di tanah. Melayang dalam angan dan khayal, ketika tersentak dalam dunia nyata amarah dan frustasi menjadi amat biasa. Kala koneksi nyata digantikan oleh relasi palsu dalam layar kaca dan sentuh. Hidup dalam dunia yang dibangun sesuai persepsi sendiri.
Seorang remaja usia belasan tahun melenggang di sebuah ruang kelas tanpa kawan, tanpa teman. Hanya ditemani oleh tab berwarna silver metalik. Ditentengnya kemanapun dia pergi. Â Dia asyik membangun dunianya sendiri. Kawan nyata semua menjauh.
Sebuah potret nyata kehidupan masa kini. Sebuah masa di mana orang haus akan validasi. Â Media sosial dijadikan dewa dan tuhan. 'Sepatu orang lain dipaksa dipakai di kaki sendiri'. Memacu diri dan tenggelam dalam kesibukan tanpa ujung sampai-sampai sesuatu yang berharga hilang satu per satu.
Kehangatan di dalam keluarga mulai pudar. Tawa dan canda di dalam keluarga digantikan dengan kesenyapan dan keheningan tanpa kesadaran. Semua asyik dengan 'dunia' masing-masing. Seolah takut kehilangan momen epic dalam cerita dunia maya.
Diskoneksi keluarga yang kemudian memunculkan adiksi. Adiksi dalam makna luas. Hilangnya relasi di dalam memunculkan aktivitas candu di luar. Keseimbangan harus terjadi untuk membuat tetap waras. Kesadaran akan fitrah sebagai manusia mulai luntur. Manusia yang sejatinya adalah makhluk sosial.
Menghentikannya butuh waktu segera, jika tidak tentu semua akan sia-sia saja. Kesehatan jiwa dan raga jangan sampai ditukar oleh kebahagiaan yang nampak semu. Ketika bahagia ukurannya adalah kaya, tidak mungkin, Scot Young, seorang miliarder dari Rusia menjatuhkan dirinya dari atas Montagu Square di London.
Ketika kesibukan serta kesuksesan karier adalah ukuran bahagia, rasanya tidak mungkin juga Arianna Huffington, pendiri Huffington Post, membukukan kisahnya dalam sebuah buku yang berjudul Thrive, mengisahkan titik baliknya dalam memaknai hidup.Â
Dalam buku itu Arianna , menyatakan, tanpa keseimbangan sukses hanya ilusi. Sukses tanpa keseimbangan harus dibayar mahal oleh sehat, hubungan, dan kebahagiaan.
Tak ada kata terlalu jauh untuk berputar arah, tak ada kata terlambat untuk sebuah proses kehidupan. Mengatakan cukup untuk diri sendiri, memberikan apresiasi untuk diri sendiri, merangkul kegagalan sebagai sebuah kenyataan dua sisi hidup rasanya perlu untuk sebuah kata, seimbang.