Dorongan terhadap budaya baca tidak berhenti ketika saya meninggalkan dunia perbankan. Ketika dipercaya menjadi Direktur Rumah Sakit dan kemudian CEO Group Institusi Pendidikan, saya kembali menjadikan perpustakaan sebagai ruang strategis.Â
Di lingkungan rumah sakit, saya mendorong tenaga medis dan staf administratif untuk menjadikan literasi sebagai bagian dari pengembangan profesional dan pemulihan mental. Perpustakaan rumah sakit bukan hanya tempat referensi medis, tetapi juga ruang refleksi dan pembelajaran lintas disiplin.
Sementara di institusi pendidikan, saya memastikan bahwa perpustakaan tidak sekadar menjadi fasilitas, melainkan jantung dari proses belajar.Â
Saya mendukung kegiatan baca bersama, diskusi buku, dan pelatihan literasi digital yang melibatkan guru, siswa, dan orang tua. Saya percaya, pendidikan yang sehat dimulai dari keberanian membaca dan kemampuan merenung.Â
Dan di setiap peran yang saya emban, saya selalu membawa semangat yang sama: bahwa literasi adalah fondasi kepemimpinan yang berkelanjutan.
Transformasi ke Era Digital: Tantangan dan Peluang
Kini, saya telah pensiun. Tapi tantangan baru justru muncul di era digital. Indonesia, menurut berbagai survei, masih berada di peringkat rendah dalam minat baca.Â
Ironisnya, kita justru berada di puncak dalam konsumsi media sosial seperti TikTok dan Instagram.
Rata-rata waktu membaca masyarakat Indonesia masih di bawah satu jam per hari, sementara waktu yang dihabiskan di media sosial bisa mencapai tiga jam lebih.Â
Minat baca tertinggi memang berada di kelompok usia produktif, namun cenderung bersifat konsumtif, bukan reflektif.