"Saya percaya, budaya baca bukan sekadar soal buku. Ia adalah soal keberanian untuk berpikir, bertanya, dan tumbuh bersama."
Prolog: Rak yang Menyemai Ingatan
Foto itu diambil lebih dari satu dekade lalu. Saya berdiri di lorong perpustakaan yang kami bangun dari nol di sebuah bank nasional tempat saya bertugas sebagai Research & Development Department Head. Di tangan saya, sebuah buku berjudul Built to Last. Di belakang saya, seorang rekan sedang membaca, dikelilingi rak-rak yang kami isi dengan harapan: agar para insan perusahaan tak hanya bekerja, tapi juga belajar.
Perpustakaan itu bukan sekadar ruang arsip. Ia adalah ruang tumbuh. Tempat pegawai bisa singgah di sela istirahat, mencari referensi untuk tugas, atau sekadar merenung lewat lembaran buku.Â
Kami tidak menunggu minat baca datang. Kami memicunya dengan ruang, dengan sistem, dan dengan semangat.
Membangun Budaya Baca di Lingkungan Korporasi
Sebagai bagian dari tugas saya di R&D, saya bertanggung jawab atas penyediaan kajian dan data pengembangan perusahaan. Tapi saya percaya, data tanpa budaya baca hanya akan menjadi angka.Â
Maka kami bangun perpustakaan, kami kurasi koleksi, dan kami dorong pegawai untuk menjadikan membaca sebagai bagian dari ritme kerja.
Salah satu program yang paling membekas adalah Bedah Buku after office hour.Â
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Employee Club, didukung penuh oleh jajaran direksi, dan diawali dengan makan malam bersama.Â
Buku yang dibedah bukan hanya dari sisi isi, tapi juga relevansi terhadap pekerjaan dan kehidupan. Diskusi hangat, refleksi jujur, dan kadang tawa ringan, semuanya menjadi bagian dari ritual literasi yang hidup dan mengikat.
Lintas Sektor, Tapi Ruhnya Sama: Literasi sebagai Pilar Kepemimpinan
Dorongan terhadap budaya baca tidak berhenti ketika saya meninggalkan dunia perbankan. Ketika dipercaya menjadi Direktur Rumah Sakit dan kemudian CEO Group Institusi Pendidikan, saya kembali menjadikan perpustakaan sebagai ruang strategis.Â
Di lingkungan rumah sakit, saya mendorong tenaga medis dan staf administratif untuk menjadikan literasi sebagai bagian dari pengembangan profesional dan pemulihan mental. Perpustakaan rumah sakit bukan hanya tempat referensi medis, tetapi juga ruang refleksi dan pembelajaran lintas disiplin.
Sementara di institusi pendidikan, saya memastikan bahwa perpustakaan tidak sekadar menjadi fasilitas, melainkan jantung dari proses belajar.Â
Saya mendukung kegiatan baca bersama, diskusi buku, dan pelatihan literasi digital yang melibatkan guru, siswa, dan orang tua. Saya percaya, pendidikan yang sehat dimulai dari keberanian membaca dan kemampuan merenung.Â
Dan di setiap peran yang saya emban, saya selalu membawa semangat yang sama: bahwa literasi adalah fondasi kepemimpinan yang berkelanjutan.
Transformasi ke Era Digital: Tantangan dan Peluang
Kini, saya telah pensiun. Tapi tantangan baru justru muncul di era digital. Indonesia, menurut berbagai survei, masih berada di peringkat rendah dalam minat baca.Â
Ironisnya, kita justru berada di puncak dalam konsumsi media sosial seperti TikTok dan Instagram.
Rata-rata waktu membaca masyarakat Indonesia masih di bawah satu jam per hari, sementara waktu yang dihabiskan di media sosial bisa mencapai tiga jam lebih.Â
Minat baca tertinggi memang berada di kelompok usia produktif, namun cenderung bersifat konsumtif, bukan reflektif.
Di sinilah peluang terbuka. Jika dulu saya membangun rak fisik, kini saatnya kita membangun rak digital dalam bentuk Knowledge Management System, BookTalk reels, literasi visual, dan microlearning yang tetap menjaga kedalaman dan etika berbagi.
KMS: Menyimpan Ingatan, Mencegah Kesalahan
Saat saya bertugas sebagai Corporate Culture & Fraud Prevention Department Head, saya bersama tim IT dan divisi lain membangun Knowledge Management System (KMS).Â
Sistem ini menghimpun pengalaman nyata para pegawai dan manajemen, agar mereka yang menghadapi situasi serupa bisa belajar tanpa harus jatuh di lubang yang sama.
KMS bukan sekadar dokumentasi. Ia adalah penjaga ingatan kolektif. Ia mencegah pengulangan kesalahan, mempercepat adaptasi, dan memperkuat budaya kerja yang reflektif.Â
Di era digital, KMS bisa menjadi jembatan antara literasi dan efisiensi, antara pengalaman dan pencegahan risiko.
Strategi Literasi Korporasi di Era Digital
Ada banyak pendekatan yang bisa dikembangkan oleh perusahaan saat ini untuk menghidupkan kembali semangat baca. Salah satunya adalah mengadakan BookTalk dalam format hybrid, bedah buku ringan melalui Zoom atau siaran langsung di kanal internal perusahaan.Â
Narasumbernya bisa berasal dari pegawai sendiri, bukan hanya reviewer profesional, sehingga diskusi terasa lebih dekat dan relevan.
Selain itu, kutipan-kutipan inspiratif dari buku bisa disajikan dalam format visual seperti carousel Instagram atau reels pendek.Â
Desain yang menarik, dikombinasikan dengan pesan yang reflektif, dapat menyusupkan nilai literasi ke dalam budaya digital yang sudah akrab di kalangan pegawai.
Perusahaan juga bisa membangun Digital Reading Lounge, sebuah kanal khusus di intranet yang berisi ulasan buku, refleksi pegawai, dan rekomendasi bacaan. Ruang ini menjadi tempat tumbuh yang tenang dan bermakna, jauh dari hiruk-pikuk deadline.
Program Tantangan Literasi Bulanan juga dapat mendorong partisipasi aktif. Pegawai diajak membaca satu buku dan menulis refleksi singkat.Â
Hadiahnya bukan hanya materi, tapi apresiasi dari jajaran direksi atau publikasi internal yang memberi pengakuan atas proses belajar.
Dan tentu saja, pengembangan KMS yang terintegrasi tetap menjadi fondasi. Pengalaman kerja yang terdokumentasi dengan baik akan memperkuat efisiensi, mencegah kesalahan berulang, dan menjadi sumber pembelajaran lintas generasi.
Epilog: Dari Rak ke Reels, Tapi Ruhnya Tetap Sama
Saya percaya, literasi bukan soal format. Ia soal niat. Rak bisa berubah menjadi server, buku bisa berubah menjadi konten visual, tapi ruhnya tetap: keberanian untuk berpikir dan berbagi.
Bagi saya, pensiun bukan akhir. Ia adalah awal dari babak baru: menjadi mentor literasi publik, menyemai semangat baca di lingkungan kerja, komunitas, dan generasi muda.Â
Jika dulu saya bisa memicu minat baca di lingkungan korporasi, maka kini saya percaya, kita semua bisa melakukannya, asal ada niat, sistem, dan keberanian untuk merawat ingatan.
Salam Literasi: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Karena tanpa menulis dan membaca, kita akan hilang dari pusaran sejarah. Â
---Pramoedya Ananta Toer
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI