Rasa yang Menyambung Silaturahmi
Saya tak sedang menulis tentang kue. Saya sedang menulis tentang warisan, tentang rasa yang menyambung silaturahmi, tentang benda-benda dapur yang diam tapi penuh makna. Dan semuanya bermula dari sepotong ubi ungu.
Suatu sore, saya melihat ubi ungu di meja dapur. Warnanya pekat, teksturnya lembut, dan aromanya mengingatkan saya pada masa kecil yang jauh. Tapi bukan hanya itu yang membuat saya tergerak.Â
Di sudut dapur, ada sebuah baking pan tua, warisan dari orangtua istri saya, yang dulu diwariskan kepada kakak ipar saya. Setelah beliau wafat tahun lalu, baking pan itu berpindah tangan kepada istri saya.Â
Dan saya, sebagai orang yang gemar memasak dan menghormati benda-benda bersejarah, tak tega melihatnya nganggur.
Baking pan itu bukan sekadar alat. Ia adalah saksi bisu dari banyak peristiwa keluarga. Ia pernah memanggang harapan, menyimpan tawa, dan mungkin juga air mata. Saya pun memutuskan untuk menghidupkannya kembali.Â
Sebelumnya, saya sudah menggunakannya untuk membuat Keik Role Tape dan Keik Pisang, dua resep jadoel yang saya warisi dari ibu saya, yang juga memiliki loyang serupa, kini berada di tangan saudara saya yang lain.Â
Setiap kali saya memanggang, rasanya seperti menyambung kembali benang-benang yang sempat terputus.
Kali ini, saya mencoba membuat Keik Ubi Ungu. Resepnya sederhana, takaran ala zaman dulu: telur, gula, margarin cair, santan, tepung, dan ubi ungu yang dilumatkan.Â