Di sudut dapur yang telah lama bersahaja, sebuah baking pan berlapis kenangan akhirnya kembali diberi peran. Bukan sembarang loyang---ia adalah warisan, benda diam yang telah menyerap aroma zaman, sentuhan tangan tua, dan doa-doa pelan yang tak terdokumentasikan.Â
Hari ini, ia dipilih bukan karena bentuknya yang klasik, tapi karena maknanya. Ia menjadi wadah bagi sebuah resep kue jadul: Role Tape Marmer Keik.
Pagi itu, adonan mulai diracik dengan takaran ala zaman dulu. Bukan dalam gram dan mililiter, melainkan dalam mangkuk dan cangkir, seperti cara nenek menyampaikan resep dengan bahasa rasa.Â
Enam butir telur ayam dikocok bersama setengah cangkir gula pasir, bukan untuk mencapai standar industri, tapi demi menghadirkan kelembutan yang diingat lidah.
Setelah mengembang, margarin cair dan santan pun menyusul, berbaur dengan tape singkong yang telah dilumatkan. Tepung terigu dimasukkan terakhir, dengan harapan semua unsur menyatu tanpa amarah, tanpa sisa yang menggumpal di dasar mangkuk.
Sebagian kecil adonan dipisahkan, diberi satu sendok makan pasta moka---ini bukan hanya soal rasa, tapi sentuhan artistik, pola marmer yang memberi kue identitas visualnya.
Adonan dituangkan ke dalam baking pan warisan, yang telah dilumuri margarin dan sedikit tepung. Dalam diam, loyang itu menerima adonan seperti menerima cerita lama yang ingin diulang.Â
Letakkan baking pan di atas kompor selama 45 menit dengan api sedang, aroma tape dan moka mulai mengisi ruang. Tidak ada lonceng atau timer digital, hanya intuisi dan rasa percaya.
Saat matang, Role Tape Marmer Keik itu dikeluarkan, dipotong rapi dan disajikan di atas piring kaca dengan ornamen klasik. Pola marmernya terbentuk utuh---seolah menunjukkan bahwa integrasi rasa bisa dicapai tanpa teknologi canggih.Â
Tiap potongan menjadi simbol dari hal-hal yang tak tercatat: kerja tangan, kesabaran, dan cinta lintas generasi.