Rasa yang Menyambung Silaturahmi
Saya tak sedang menulis tentang kue. Saya sedang menulis tentang warisan, tentang rasa yang menyambung silaturahmi, tentang benda-benda dapur yang diam tapi penuh makna. Dan semuanya bermula dari sepotong ubi ungu.
Suatu sore, saya melihat ubi ungu di meja dapur. Warnanya pekat, teksturnya lembut, dan aromanya mengingatkan saya pada masa kecil yang jauh. Tapi bukan hanya itu yang membuat saya tergerak.Â
Di sudut dapur, ada sebuah baking pan tua, warisan dari orangtua istri saya, yang dulu diwariskan kepada kakak ipar saya. Setelah beliau wafat tahun lalu, baking pan itu berpindah tangan kepada istri saya.Â
Dan saya, sebagai orang yang gemar memasak dan menghormati benda-benda bersejarah, tak tega melihatnya nganggur.
Baking pan itu bukan sekadar alat. Ia adalah saksi bisu dari banyak peristiwa keluarga. Ia pernah memanggang harapan, menyimpan tawa, dan mungkin juga air mata. Saya pun memutuskan untuk menghidupkannya kembali.Â
Sebelumnya, saya sudah menggunakannya untuk membuat Keik Role Tape dan Keik Pisang, dua resep jadoel yang saya warisi dari ibu saya, yang juga memiliki loyang serupa, kini berada di tangan saudara saya yang lain.Â
Setiap kali saya memanggang, rasanya seperti menyambung kembali benang-benang yang sempat terputus.
Kali ini, saya mencoba membuat Keik Ubi Ungu. Resepnya sederhana, takaran ala zaman dulu: telur, gula, margarin cair, santan, tepung, dan ubi ungu yang dilumatkan.Â
Saya tambahkan sedikit keju di atasnya, bukan untuk gaya, tapi untuk memberi kontras rasa dan tekstur.Â
Adonan saya tuang ke dalam baking pan warisan, yang sudah saya lumuri margarin dan tepung. Saya panggang dengan api sedang, sambil menunggu aroma nostalgia memenuhi ruang.
Dan ketika akhirnya matang, saya potong satu irisan. Warnanya cantik, ungu dalam yang berpadu dengan keju parut. Teksturnya lembut, rasanya lezato dan nikmato, begitu kata hati saya.
Tapi lebih dari itu, saya merasa seperti telah melakukan sesuatu yang penting: menghidupkan kembali warisan, menyambung rasa antar generasi, dan memberi makna baru pada benda tua yang nyaris terlupakan.
Saya sudah membayangkan, baking pan ini akan saya gunakan lagi. Mungkin untuk Bika Ambon, mungkin untuk Bolu Kemojo. Saya ingin terus menjadikannya wadah bagi rasa-rasa yang tak hanya mengenyangkan, tapi juga menghangatkan.Â
Karena saya percaya, dapur bukan hanya tempat memasak. Ia adalah ruang spiritual, tempat kita menyulam kenangan, menyambung silaturahmi, dan menghadirkan kembali mereka yang telah pergi melalui aroma, tekstur, dan rasa.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI