"Di lorong sunyi Rimbang Baling, harimau Sumatera masih melangkah dalam diam, agung, dan nyaris terlupakan. Aumannya tak terdengar, tapi jejaknya adalah harapan terakhir yang harus kita jaga."
Label: Suara Satwa Karismatik Â
Kategori: Voice of the Voiceless
WWF dan Harimau Sumatera: Perjuangan Konservasi di Bukit Rimbang Baling
Di tengah riuhnya pembangunan dan deru mesin yang menembus hutan-hutan Sumatera, ada suara yang nyaris tak terdengar, yaitu suara harimau Sumatera yang perlahan menghilang dari peta kehidupan.Â
Saya pernah mendekat ke suara itu, bukan lewat mikrofon atau layar, melainkan dengan kaki yang menapak tanah, mata yang menyapu rimba, dan hati yang terbuka pada keheningan.
Perjalanan saya menuju Bukit Rimbang Baling, Riau, bukan sekadar wisata. Ia adalah ziarah batin menuju jantung konservasi yang sunyi namun penuh harapan.
Menyusuri Jalan Menuju Jantung Rimba
Untuk mencapai lokasi konservasi WWF (World Wide Fund for Nature) di Bukit Rimbang Baling, saya memulai perjalanan dari Pekanbaru, ibu kota Provinsi Riau. Dari sana, saya menempuh jalur darat menuju Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar.Â
Perjalanan memakan waktu sekitar 4--5 jam, tergantung kondisi jalan dan cuaca.
Setelah tiba di Desa Tanjung Belit, pintu masuk utama ke kawasan konservasi, perjalanan dilanjutkan dengan perahu menyusuri Sungai Subayang.Â
Di sinilah lanskap berubah: dari pemukiman ke rimba, dari suara kendaraan ke suara alam. Sungai menjadi satu-satunya akses menuju Camp WWF, yang terletak di tengah hutan lindung Bukit Rimbang Baling.
Di sepanjang perjalanan, saya menyaksikan bukit-bukit hijau yang menyimpan jejak satwa langka: beruang madu, tapir, rangkong gading, dan tentu saja harimau Sumatera. Di sinilah mereka bertahan, di antara ancaman dan harapan.
Bertemu Para Penjaga Sunyi
Camp WWF bukan tempat glamor. Ia adalah pos konservasi yang berdiri di tengah hutan, dikelilingi oleh pepohonan tinggi dan suara alam yang tak pernah berhenti.Â
Di sana, saya bertemu para ranger dan anggota Tiger Protection Unit. Mereka yang menjaga hutan bukan dengan senjata, tapi dengan komitmen dan cinta.
Saya menyaksikan bagaimana mereka memasang camera trap, memantau jejak harimau, dan mencatat setiap perlintasan satwa. Dalam momen langka, seekor harimau tertangkap kamera. Aumannya tak terdengar, tapi kehadirannya terasa. Ia masih ada. Ia masih bertahan.
WWF Indonesia bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau tak hanya menjaga, mereka juga memulihkan.Â
Di Desa Petai, saya ikut dalam kegiatan penanaman pohon-pohon endemik sebagai bagian dari restorasi habitat. Ini bukan sekadar aksi simbolik, melainkan penanaman masa depan.
Populasi yang Tak Pernah Pasti
Berapa jumlah harimau Sumatera yang tersisa? Jawabannya menyayat hati. Rentang populasi nasional diperkirakan antara 173 hingga 883 individu.Â
Di Taman Nasional Kerinci Seblat, populasi diperkirakan 115-130 ekor. Namun ancaman tetap membayangi: perburuan, pembukaan lahan, dan konflik manusia-satwa.
Harimau Sumatera membutuhkan wilayah jelajah hingga 100 km. Ketika hutan berubah menjadi kebun sawit, ruang hidup mereka menyusut.Â
Konflik pun tak terelakkan. Di Mukomuko, Bengkulu, 70% dari 78.315 hektare hutan produksi telah rusak. Harimau yang lapar dan kehilangan mangsa utama seperti babi hutan, terpaksa mendekati pemukiman.
Di Rimbang Baling, ancaman itu nyata. Meski statusnya sebagai kawasan konservasi telah ditetapkan, pembalakan liar dan perambahan masih terjadi.Â
WWF mencatat bahwa wilayah ini merupakan salah satu koridor penting bagi harimau Sumatera, namun juga salah satu yang paling rentan.
Harimau dan Kita: Cermin Ekologis Bangsa
Harimau bukan sekadar satwa. Ia adalah simbol kekuatan, keseimbangan, dan kebijaksanaan dalam banyak budaya Nusantara. Kehilangannya bukan hanya tragedi ekologi, tapi juga kehilangan jati diri kita sebagai bangsa yang hidup dari dan bersama alam.
Saya percaya, jika harimau hilang dari hutan ini, kita akan kehilangan bagian dari jiwa Nusantara.Â
Kita akan kehilangan cermin yang selama ini mengingatkan kita tentang batas, tentang keseimbangan, dan tentang tanggung jawab.
Harapan yang Perlu Disuarakan
Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk tidak membiarkan harimau Sumatera tinggal sebagai cerita. Mari dukung upaya WWF dan komunitas lokal di Rimbang Baling. Mari jaga hutan, bukan hanya sebagai lanskap, tapi sebagai ruang hidup yang sakral.
Karena jika kita gagal menjaga auman terakhir itu, kita akan kehilangan lebih dari sekadar spesies. Kita akan kehilangan suara yang selama ini menjaga kita dari keserakahan.
Harimau Sumatera tak bisa bersuara di ruang publik. Tapi kita bisa. Kita bisa menjadi suara bagi yang tak bersuara. Kita bisa menjadi harapan bagi yang nyaris pupunah.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara & Penjelajah Nusantara)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI