Mengenang Penjaga Syair Bangsa: Doa, Kenangan, dan Tanya
Pada Senin malam di tengah berita ramainya kampus-kampus di Bandung diserang oknum, pukul 22.22 WIB, 1 September 2025, Indonesia kehilangan salah satu suara batinnya. Raden Darmawan Dajat Hardjakusumah yang dikenal luas sebagai Acil Bimbo, meninggal dunia di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, dalam usia 82 tahun.Â
Acil berpulang setelah menjalani perawatan intensif, meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, sahabat, dan jutaan pendengar yang tumbuh bersama syair-syairnya.
Kabar ini bukan sekadar berita duka. Ia adalah penanda berakhirnya sebuah era: era di mana lagu bukan hanya hiburan, tapi juga doa, kritik sosial, dan refleksi spiritual. Acil bukan hanya vokalis. Ia adalah penjaga makna, penyulam syair, dan pelantun batin bangsa.
Bimbo: Dari Jayagiri ke Jiwa Bangsa
Grup musik Bimbo lahir di Bandung pada tahun 1966, digawangi oleh tiga bersaudara: Sam, Acil, dan Jaka. Mereka memulai dengan genre pop dan balada, lalu berkembang menjadi ikon musik religius, sosial, dan filosofis. Bimbo dikenal karena harmoni vokal yang khas, aransemen yang lembut, dan lirik yang menggugah kesadaran.
Di tengah industri musik yang sering mengejar popularitas instan, Bimbo memilih kedalaman. Mereka menyanyikan keresahan, harapan, dan pertanyaan. Dan Acil, dengan suara baritonnya yang hangat dan syair reflektifnya, menjadi jantung dari pilihan itu.
Syair-Syair yang Menjadi Warisan
Acil Bimbo tidak hanya menyanyikan lagu---ia menyampaikan batin bangsa. Syair-syair yang ia lantunkan bukan sekadar lirik, melainkan refleksi spiritual, kritik sosial, dan pengingat akan nilai-nilai kemanusiaan. Di bawah ini adalah beberapa syair yang telah menjadi warisan kolektif, lengkap dengan narasi pendukung yang menghidupkan kembali konteks dan maknanya.
Tuhan - Doa dalam Peluh
Tuhan
 Tempat aku berteduh
 Di mana aku mengeluh
 Dengan segala peluh