Lagu ini bukan sekadar puisi, melainkan doa yang menyatu dengan napas rakyat. Di tengah krisis, kemiskinan, dan ketidakpastian, syair ini menjadi tempat berteduh batin. Acil menyanyikannya dengan suara yang tidak hanya merdu, tapi penuh penghayatan. Ia tidak menggurui, melainkan mengajak kita mengeluh dengan jujur kepada Tuhan---tanpa topeng, tanpa pretensi.
Syair ini menjadi pengingat bahwa spiritualitas bukanlah pelarian, melainkan keberanian untuk mengakui luka dan tetap berharap.
Saya sendiri masih mengingat jelas, sejak duduk di bangku SD pada tahun 1974, lagu Tuhan ini begitu mengena di hati. Konon diciptakan oleh Taufik Ismail, dan hingga kini syairnya tetap membekas, seakan menjadi doa yang abadi di antara banyak lagu Bimbo yang melegenda.
Melati dari Jayagiri - Kenangan yang Lembut
Melati dari Jayagiri
 Kuterawang keindahan kenangan
 Hari-hari lalu di mataku
 Tatapan yang lembut dan penuh kasih
Lagu ini adalah surat cinta kepada masa lalu. Melati bukan hanya bunga, tapi simbol dari kenangan yang tak bisa dilupakan. Jayagiri, sebagai tempat nyata dan metaforis, menjadi latar bagi nostalgia yang lembut dan penuh kasih.
Acil menyanyikannya dengan suara yang seolah menyentuh kenangan pribadi setiap pendengar. Lagu ini mengajarkan bahwa kenangan bukan untuk ditinggalkan, tapi untuk dirawat sebagai bagian dari identitas dan perjalanan jiwa.
Ada Anak Bertanya Pada Bapaknya - Tanya yang Menggugah
Ada anak bertanya pada bapaknya
 Buat apa berlapar-lapar puasa
 Ada anak bertanya pada bapaknya
 Tadarus tarawih apalah gunanya
Syair ini mengangkat pertanyaan polos seorang anak menjadi refleksi mendalam tentang makna ibadah. Lagu ini tidak memberikan jawaban instan, melainkan membuka ruang tafsir dan kasih antara generasi.
Bimbo menyanyikannya dengan nada yang penuh kasih dan kesabaran, seolah menjadi bapak yang tidak hanya menjawab, tapi mendidik dengan kelembutan. Lagu ini menjadi jembatan antara ritual dan makna, antara tradisi dan pemahaman.