Transportasi umum bukan sekadar sarana berpindah dari satu titik ke titik lain. Ia adalah ruang sosial yang jujur, tempat kita diuji bukan hanya oleh kepadatan dan waktu, tapi oleh nilai-nilai yang kita pegang.Â
Di dalam gerbong Commuter Line, saya telah menyaksikan dan mengalami sendiri berbagai bentuk kebaikan kecil yang kadang tak terduga, kadang menyentuh, kadang juga membuat kita merenung lebih dalam tentang makna memberi.
Saya masih ingat satu pagi yang padat, ketika saya naik dari stasiun di seputaran Bintaro. Gerbong sudah penuh, seperti biasa. Saya berdiri di antara penumpang yang sebagian besar sibuk dengan ponsel atau tertidur sambil berdiri.Â
Tiba-tiba, seorang pria berpakaian tentara menatap saya, lalu berdiri dan mempersilakan saya duduk di tempatnya.Â
Tidak ada kata-kata panjang, hanya gerakan tubuh yang tegas dan penuh hormat. Rasanya seperti dihormati bukan karena usia, tapi karena keberadaan saya di ruang publik yang padat dan lelah.Â
Saya menerima tawaran itu dengan terima kasih yang tak sempat diucapkan secara verbal, tapi saya yakin ia menangkapnya dari sorot mata saya.
Beberapa waktu kemudian, pengalaman serupa datang dari arah yang tak terduga. Seorang anak SMA, berseragam rapi dan membawa tas sekolah yang tampak berat, memanggil saya dan menawarkan bangkunya. Ia sudah duduk sejak stasiun sebelumnya, dan saya baru saja naik.Â
Gesturnya sederhana, tapi menyentuh. Di tengah generasi yang sering dicap cuek atau individualis, anak itu menunjukkan bahwa empati masih hidup dan tumbuh.Â
Saya duduk, tapi hati saya berdiri: hormat kepada anak muda yang tahu kapan harus memberi, meski ia sendiri belum tentu nyaman.
Pengalaman-pengalaman ini membuat saya merenung. Kebaikan di transportasi umum sering kali datang tanpa nama, tanpa pamrih, dan tanpa dokumentasi. Ia hadir sebagai "random act of kindness", tindakan kecil yang tak direncanakan, tapi berdampak besar.Â
Dan saya pun berusaha membalas kebaikan-kebaikan kecil itu. Jika melihat ibu-ibu, lelaki sepuh, atau orang tua yang membawa balita, saya akan berdiri dan mempersilakan mereka duduk.Â
Rasanya bukan hanya sebagai bentuk sopan santun, tapi sebagai pengakuan atas perjuangan mereka di ruang publik yang kadang tak ramah.