Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bangku, Seragam, dan Rasa Ikhlas yang Teruji di Commuter Line

28 Agustus 2025   15:36 Diperbarui: 29 Agustus 2025   08:50 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Commuter Line yang Padat,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal 

Transportasi umum bukan sekadar sarana berpindah dari satu titik ke titik lain. Ia adalah ruang sosial yang jujur, tempat kita diuji bukan hanya oleh kepadatan dan waktu, tapi oleh nilai-nilai yang kita pegang. 

Di dalam gerbong Commuter Line, saya telah menyaksikan dan mengalami sendiri berbagai bentuk kebaikan kecil yang kadang tak terduga, kadang menyentuh, kadang juga membuat kita merenung lebih dalam tentang makna memberi.

Saya masih ingat satu pagi yang padat, ketika saya naik dari stasiun di seputaran Bintaro. Gerbong sudah penuh, seperti biasa. Saya berdiri di antara penumpang yang sebagian besar sibuk dengan ponsel atau tertidur sambil berdiri. 

Tiba-tiba, seorang pria berpakaian tentara menatap saya, lalu berdiri dan mempersilakan saya duduk di tempatnya. 

Tidak ada kata-kata panjang, hanya gerakan tubuh yang tegas dan penuh hormat. Rasanya seperti dihormati bukan karena usia, tapi karena keberadaan saya di ruang publik yang padat dan lelah. 

Saya menerima tawaran itu dengan terima kasih yang tak sempat diucapkan secara verbal, tapi saya yakin ia menangkapnya dari sorot mata saya.

Beberapa waktu kemudian, pengalaman serupa datang dari arah yang tak terduga. Seorang anak SMA, berseragam rapi dan membawa tas sekolah yang tampak berat, memanggil saya dan menawarkan bangkunya. Ia sudah duduk sejak stasiun sebelumnya, dan saya baru saja naik. 

Gesturnya sederhana, tapi menyentuh. Di tengah generasi yang sering dicap cuek atau individualis, anak itu menunjukkan bahwa empati masih hidup dan tumbuh. 

Gerbong sebagai ruang ujian sosial,  Sumber; Dokumentasi Merza Gamal diolah kembali dengan Generative AI 
Gerbong sebagai ruang ujian sosial,  Sumber; Dokumentasi Merza Gamal diolah kembali dengan Generative AI 

Saya duduk, tapi hati saya berdiri: hormat kepada anak muda yang tahu kapan harus memberi, meski ia sendiri belum tentu nyaman.

Pengalaman-pengalaman ini membuat saya merenung. Kebaikan di transportasi umum sering kali datang tanpa nama, tanpa pamrih, dan tanpa dokumentasi. Ia hadir sebagai "random act of kindness", tindakan kecil yang tak direncanakan, tapi berdampak besar. 

Dan saya pun berusaha membalas kebaikan-kebaikan kecil itu. Jika melihat ibu-ibu, lelaki sepuh, atau orang tua yang membawa balita, saya akan berdiri dan mempersilakan mereka duduk. 

Rasanya bukan hanya sebagai bentuk sopan santun, tapi sebagai pengakuan atas perjuangan mereka di ruang publik yang kadang tak ramah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun