Di sebuah ruang rapat yang sunyi, seorang staf muda menyampaikan pujian kepada atasannya: "Presentasi Bapak tadi luar biasa, sangat menginspirasi."Â
Sang atasan tersenyum, lalu berkata, "Terima kasih. Tapi kamu belum lihat presentasi saya minggu lalu." Semua tertawa. Tapi di balik tawa itu, ada sesuatu yang tak terucap: apakah pujian itu tulus, atau sekadar strategi bertahan?
Kita hidup di zaman di mana kata-kata manis bisa menjadi mata uang sosial. Pujian bukan lagi sekadar ekspresi apresiatif, tapi sering kali berubah menjadi alat negosiasi, pelindung posisi, bahkan senjata diplomatik.Â
Dalam ekosistem kerja dan kepemimpinan, evolusi pujian ini bisa dilacak dari bentuk yang paling sehat, yaitu memuji hingga yang paling merusak, yakni menjilat.
Memuji: Apresiasi yang Menumbuhkan
Pujian yang tulus adalah benih yang menumbuhkan. Ia hadir tanpa pamrih, sekadar ingin mengakui kehebatan orang lain.Â
Dalam relasi kerja, pujian semacam ini membangun jembatan kepercayaan, memperkuat motivasi, dan menciptakan ruang tumbuh yang sehat. Ia adalah fondasi dari budaya meritokratis, di mana kualitas dan usaha dihargai, bukan sekadar kedekatan atau pencitraan.
Menurut studi Harvard Business Review (2022), karyawan yang menerima pujian berbasis proses (bukan hanya hasil) menunjukkan peningkatan produktivitas hingga 31% dan loyalitas tim yang lebih tinggi. Pujian yang sehat adalah pupuk bagi kepemimpinan yang reflektif.
Flatteri: Pujian yang Licin
Flatteri adalah pujian yang mulai kehilangan kejujuran. Ia berlebihan, kadang hiperbolik, dan sering digunakan untuk mendapatkan simpati atau perlindungan.Â
Dalam konteks diplomasi atau pemasaran, flatteri bisa dianggap wajar. Tapi dalam relasi kekuasaan, ia mulai membentuk relasi semu.
Sosiolog Erving Goffman menyebut ini sebagai "strategi presentasi diri"---di mana individu menyesuaikan ekspresi untuk mempertahankan citra sosial. Flatteri adalah seni menyenangkan, tapi sering kali mengorbankan kejujuran.