Refleksi Pribadi tentang Ketahanan Maskapai Murah di Asia
Beberapa tahun lalu, saya pernah memilih Jetstar Asia untuk terbang ke Bangkok dari Singapura. Tiketnya murah, tapi pengalaman yang saya rasakan terasa "standar"---tidak buruk, tapi juga tidak terlalu berkesan.Â
Kini maskapai itu resmi menutup operasinya, dan saya tak bisa tidak merasa bahwa yang saya alami saat itu barangkali mencerminkan tantangan mendalam yang tak tertangani oleh manajemen mereka.
Pada kesempatan berbeda, saya pernah berada di lobi kantor pusat AirAsia di Malaysia, berdiri di bawah lambang besar bertuliskan AirAsia Allstars---sebuah filosofi kerja yang mereka bangun sejak tahun 2001: All for One, One for All.Â
Saat itu saya mengikuti kunjungan media sebagai bagian dari penghargaan d'Traveler of the Year. Di balik senyum ramah staf dan semangat kolektif yang kental, saya merasakan satu hal: AirAsia bukan sekadar maskapai, tapi sebuah ekosistem bisnis yang tumbuh dari semangat inovasi dan keberanian bertransformasi.
Kini, di pertengahan 2025, ketika kabar penutupan Jetstar Asia menggema dari Singapura, saya teringat kembali pada dua momen itu---dua maskapai dengan pendekatan berbeda, dua nasib yang kini makin kontras.Â
Apakah era maskapai murah (LCC/low cost carrier) di Asia sedang berada di ujung jalan? Atau ini hanya seleksi alam terhadap mereka yang tak mampu berubah?
Jetstar Asia: Ketika Harga Murah Saja Tak Lagi Cukup