Didirikan pada tahun 1886, Del Monte pernah menjadi lambang kejayaan industri makanan kaleng Amerika. Produk-produknya menembus pasar global dan melekat kuat di Asia Tenggara.
Namun, dalam dunia yang kini bergerak cepat, kecepatan beradaptasi jauh lebih menentukan daripada sekadar nama besar. Del Monte dianggap lamban dalam menjawab perubahan pola konsumsi.Â
Konsumen kini lebih menyukai produk sehat, segar, rendah gula, dan bebas bahan kimia --- sementara Del Monte tetap bertumpu pada pendekatan klasik.
Pasar Indonesia: Dinamika Rasa dan Dominasi Brand Lokal
Di Indonesia, Del Monte pernah berjaya, terutama lewat buah kaleng dan pasta tomat. Kini, merek ini mulai terpinggirkan oleh merek lokal dan internasional lainnya seperti:
- ABC (saus tomat, sambal),
- La Fonte (pasta dan saus),
- Fiesta, dan bahkan merek global seperti Barilla.
Merek lokal punya keunggulan karena mereka lebih cepat beradaptasi dengan lidah masyarakat Indonesia, menawarkan rasa lebih manis atau pedas, harga lebih kompetitif, dan strategi pemasaran digital yang agresif. Produk dari Thailand, Tiongkok, hingga Filipina juga meramaikan pasar dengan ragam buah kaleng yang segar dan murah.
Akhir dari Era atau Awal Baru?
Del Monte mungkin kalah dalam pertarungan dengan zaman, tetapi ia menang dalam menciptakan warisan rasa dan memori. Merek ini telah hidup di hati kita jauh sebelum istilah "branding" menjadi jargon pemasaran.
Saya membayangkan, di balik kaleng buah itu, tersimpan potongan kecil dari masa lalu --- saat keluarga duduk bersama di ruang makan sederhana, menikmati manisnya buah kaleng Del Monte sambil bercengkrama hangat, tanpa gawai, tanpa distraksi. Hanya kebersamaan dan rasa manis yang melekat hingga kini.
Kini, ketika kabar kebangkrutannya menyebar, saya tak bisa tidak merasa kehilangan. Bukan hanya kehilangan sebuah perusahaan tua, tetapi kehilangan bagian dari kenangan masa kecil --- momen yang tak bisa dikalengkan kembali, hanya bisa disimpan di hati.
Namun dunia terus bergerak. Indonesia pun tak lagi hanya bergantung pada satu merek besar. Konsumen kini lebih cerdas, pilihannya lebih luas, dan produk lokal telah naik kelas, unjuk gigi di pasar yang makin kompetitif.Â
Ini bukan sekadar akhir dari sebuah era, tapi mungkin awal baru bagi industri makanan yang lebih dinamis, inklusif, dan mendekatkan rasa dengan budaya lokal.
Dari kisah Del Monte, kita belajar satu hal: sebesar apa pun nama sebuah merek, jika tak sigap beradaptasi, ia bisa tumbang... dalam senyap.