"Generasi Z itu manja, gampang menyerah, tidak tahan tekanan, dan tidak tahu etika kerja."
Kalimat semacam itu sering terdengar di ruang-ruang kerja, forum diskusi, bahkan grup keluarga di WhatsApp. Keluhan terhadap Generasi Z seolah menjadi tren baru---mereka yang lahir dan tumbuh di era digital kini menghadapi stereotip yang menyudutkan. Namun, pertanyaannya: benarkah itu sepenuhnya kesalahan mereka?
Atau justru---kitalah yang gagal menyiapkan mereka?
Generasi Z: Produk dari Era Transisi Besar
Gen Z adalah generasi yang lahir dan besar di tengah pergeseran zaman yang cepat dan kompleks. Mereka menyaksikan dunia berpindah dari televisi tabung ke layar sentuh, dari perpustakaan ke mesin pencari, dari surat lamaran cetak ke rekrutmen berbasis algoritma.
Sayangnya, di tengah revolusi teknologi dan informasi ini, mereka juga menjadi korban dari sistem pendidikan yang tertinggal, pola asuh yang sibuk sendiri dengan gadget, dan lingkungan sosial yang lebih sering menuntut ketimbang membimbing.
Akibatnya, banyak Gen Z yang:
- Gampang menyerah saat menghadapi tekanan kerja,
- Lebih nyaman berkomunikasi lewat chat daripada tatap muka,
- Minim etika kerja seperti disiplin, tanggung jawab, dan tata krama profesional,
- Terlalu idealis namun rapuh saat menghadapi kenyataan dunia kerja.
Namun bila kita jujur, ini bukan semata-mata kesalahan mereka.Â
Ini adalah hasil dari proses kolektif yang alpa membekali mereka secara utuh---baik dari sisi karakter, keterampilan, maupun kesiapan mental.
Lalai Mendidik: Kesalahan yang Tak Boleh Terulang pada Gen Alpha
Kini, kita dihadapkan pada tugas besar berikutnya: mempersiapkan Generasi Alpha. Anak-anak yang lahir setelah 2010 ini bahkan lebih digital daripada pendahulunya.Â
Mereka mengenal layar sebelum mengenal huruf, lebih fasih bicara dengan AI ketimbang dengan tetangganya, dan tumbuh di tengah dunia yang makin tak pasti.