Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Narasi Rasa Lapar, Ketika Statistik Tak Bisa Dimakan

12 Juni 2025   07:05 Diperbarui: 12 Juni 2025   22:58 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kelaparan. (Sumber: Shutterstock via kompas.com)

"Ketika perihnya rasa lapar dan tekanan hari-hari kehidupan banyak anak bangsa hanyalah masalah (keributan) angka-angka dan asumsi-asumsi yg dipikir oleh mereka yg perutnya overload oleh nutrisi dan tidur nyaman di atas kasur empuk beralas sprei sutra..."

Kalimat ini bukan berasal dari orasi aktivis atau bait puisi penyair jalanan. Ia muncul begitu saja---tulus, getir, dan penuh luka---dari seorang pembaca di kolom komentar artikel saya di Kompasiana sebelumnya: Di Antara Dua Kemiskinan; Ketika Statistik Berbicara, Tapi Kenyataan Menangis.

Kalimat yang menggugah itu menjadi pemantik narasi lanjutan ini, karena ia mewakili suara yang jarang terdengar: suara dari perut yang kosong, dari tubuh yang letih, dan dari harapan yang kian tipis.

Antara Dua Angka, Terlalu Banyak yang Terlupa

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2024 sebanyak 25,22 juta jiwa atau 9,03% dari total populasi. Angka itu bahkan disebut menurun dibandingkan tahun sebelumnya. 

Sementara itu, Bank Dunia justru mengungkap data yang jauh berbeda: 66% masyarakat Indonesia berada dalam atau sangat dekat dengan garis kemiskinan jika menggunakan standar global negara berpenghasilan menengah atas sebesar US$4 PPP per hari, atau sekitar Rp5,6 juta per bulan per keluarga.

Satu negara, dua angka kemiskinan. Satu realitas, dua versi statistik.

Kedua angka itu sebenarnya tidak saling meniadakan. BPS menggunakan pendekatan garis kemiskinan nasional yang dihitung berdasarkan kebutuhan makanan setara 2.100 kkal per kapita per hari ditambah kebutuhan non-makanan minimum. Sementara Bank Dunia menggunakan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP) yang melihat kemampuan daya beli minimum global yang layak.

Namun, bagi orang yang hidup dengan dapur tak berasap, listrik yang sering padam, atau anak yang terpaksa putus sekolah karena biaya, apakah definisi dan metode itu masih relevan? 

Seperti kata pembaca tadi: statistik tidak bisa dimakan.

Di Balik Statistik: Wajah-Wajah Tak Terdata

Saya teringat seorang bapak tua penjual balon di pinggir stasiun. Usianya mungkin sudah lebih dari 70 tahun. Dengan tubuh renta, ia berdiri dari pagi hingga malam, menunggu anak-anak yang kadang tak datang. Ia bukan bagian dari data BPS, mungkin juga tak tercatat dalam survei Bank Dunia. Ia hidup dalam limbo, dalam ruang kosong antara garis kemiskinan dan garis kehidupan.

Atau ibu rumah tangga yang berjualan gorengan di depan rumah petak sempit, yang harus memutar uang receh untuk membeli minyak goreng, gas melon, dan beras eceran. Ketika harga kebutuhan pokok naik sedikit saja, keseimbangan ekonomi rumah tangganya langsung terguncang. 

Hidup mereka sangat rapuh---hanya satu musibah kecil dari jatuh miskin secara permanen.

Mereka tak butuh dikasihani. Mereka hanya ingin didengarkan.

Ketika Angka Tak Menyentuh Nurani

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun