"Ketika perihnya rasa lapar dan tekanan hari-hari kehidupan banyak anak bangsa hanyalah masalah (keributan) angka-angka dan asumsi-asumsi yg dipikir oleh mereka yg perutnya overload oleh nutrisi dan tidur nyaman di atas kasur empuk beralas sprei sutra..."
Kalimat ini bukan berasal dari orasi aktivis atau bait puisi penyair jalanan. Ia muncul begitu saja---tulus, getir, dan penuh luka---dari seorang pembaca di kolom komentar artikel saya di Kompasiana sebelumnya: Di Antara Dua Kemiskinan; Ketika Statistik Berbicara, Tapi Kenyataan Menangis.
Kalimat yang menggugah itu menjadi pemantik narasi lanjutan ini, karena ia mewakili suara yang jarang terdengar: suara dari perut yang kosong, dari tubuh yang letih, dan dari harapan yang kian tipis.
Antara Dua Angka, Terlalu Banyak yang Terlupa
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2024 sebanyak 25,22 juta jiwa atau 9,03% dari total populasi. Angka itu bahkan disebut menurun dibandingkan tahun sebelumnya.Â
Sementara itu, Bank Dunia justru mengungkap data yang jauh berbeda: 66% masyarakat Indonesia berada dalam atau sangat dekat dengan garis kemiskinan jika menggunakan standar global negara berpenghasilan menengah atas sebesar US$4 PPP per hari, atau sekitar Rp5,6 juta per bulan per keluarga.
Satu negara, dua angka kemiskinan. Satu realitas, dua versi statistik.
Kedua angka itu sebenarnya tidak saling meniadakan. BPS menggunakan pendekatan garis kemiskinan nasional yang dihitung berdasarkan kebutuhan makanan setara 2.100 kkal per kapita per hari ditambah kebutuhan non-makanan minimum. Sementara Bank Dunia menggunakan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP) yang melihat kemampuan daya beli minimum global yang layak.
Namun, bagi orang yang hidup dengan dapur tak berasap, listrik yang sering padam, atau anak yang terpaksa putus sekolah karena biaya, apakah definisi dan metode itu masih relevan?Â
Seperti kata pembaca tadi: statistik tidak bisa dimakan.
Di Balik Statistik: Wajah-Wajah Tak Terdata
Saya teringat seorang bapak tua penjual balon di pinggir stasiun. Usianya mungkin sudah lebih dari 70 tahun. Dengan tubuh renta, ia berdiri dari pagi hingga malam, menunggu anak-anak yang kadang tak datang. Ia bukan bagian dari data BPS, mungkin juga tak tercatat dalam survei Bank Dunia. Ia hidup dalam limbo, dalam ruang kosong antara garis kemiskinan dan garis kehidupan.
Atau ibu rumah tangga yang berjualan gorengan di depan rumah petak sempit, yang harus memutar uang receh untuk membeli minyak goreng, gas melon, dan beras eceran. Ketika harga kebutuhan pokok naik sedikit saja, keseimbangan ekonomi rumah tangganya langsung terguncang.Â
Hidup mereka sangat rapuh---hanya satu musibah kecil dari jatuh miskin secara permanen.
Mereka tak butuh dikasihani. Mereka hanya ingin didengarkan.