Satu Angka, Dua Dunia
Seorang pemuda menyusuri jalanan ibukota dengan sepeda tuanya. Setiap pagi ia mengantar air galon dari rumah ke rumah. Penghasilannya pas-pasan, hanya cukup untuk membayar kontrakan kecil dan makan seadanya. Namun secara statistik, ia bukan orang miskin.
Di sisi lain kota, seorang karyawan swasta bergaji UMR yang tinggal di apartemen sederhana masuk kategori "rawan miskin" menurut Bank Dunia. Bagaimana bisa?
Selamat datang di dunia di mana kemiskinan tergantung siapa yang menghitung.
BPS vs Bank Dunia: Dua Definisi, Dua Realitas
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka kemiskinan Indonesia pada Maret 2024 sebesar 9,03 persen, atau setara dengan sekitar 25,22 juta jiwa. Angka ini dihitung berdasarkan garis kemiskinan nasional sebesar Rp582.932 per kapita per bulan.Â
Garis ini ditetapkan berdasarkan kebutuhan minimum makanan --- setara 2.100 kilokalori per orang --- dan kebutuhan dasar non-makanan seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan.
Di sisi lain, Bank Dunia menetapkan standar kemiskinan global untuk negara berpenghasilan menengah atas seperti Indonesia pada angka US$4 per kapita per hari berdasarkan PPP (Purchasing Power Parity), yang jika dikonversi ke rupiah dan dikalikan untuk satu keluarga (diasumsikan 4 orang), nilainya mencapai sekitar Rp5,6 juta per bulan.Â
Berdasarkan definisi ini, sekitar dua dari tiga penduduk Indonesia --- atau kira-kira 194,4 juta orang --- sebenarnya hidup dalam kondisi rentan miskin atau miskin.
Perbedaan angka ini bukanlah kesalahan data, melainkan hasil dari penggunaan kerangka ukur yang berbeda. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan minimum lokal, sementara Bank Dunia menilai berdasarkan kemampuan hidup layak dalam skala global.
Mengapa Begitu Jomplang?
Perbedaan mendasar ini menciptakan jurang persepsi yang lebar. Angka kemiskinan versi BPS menggambarkan mereka yang hidup dalam kondisi sangat minimum, hampir tanpa akses ke kebutuhan sekunder.Â
Sementara Bank Dunia menilai bahwa kehidupan layak di Indonesia masa kini membutuhkan daya beli yang jauh lebih besar --- agar bisa mengakses makanan bergizi, pendidikan layak, layanan kesehatan memadai, dan tempat tinggal yang sehat.
Dampak Sosial & Politik: Tak Sekadar Angka
Perbedaan definisi ini membawa implikasi besar dalam kebijakan sosial. Misalnya, seseorang yang dianggap tidak miskin oleh BPS bisa jadi sangat rentan secara ekonomi, tapi tidak masuk sebagai penerima bantuan sosial karena tak memenuhi ambang batas statistik nasional.Â
Di sisi lain, kebijakan publik yang terlalu fokus pada statistik angka rendah bisa menciptakan ilusi keberhasilan, padahal ketimpangan sosial dan ketidakpastian ekonomi tetap menghantui mayoritas masyarakat.
Terlebih dalam situasi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca-pandemi, ditambah dengan gejolak politik, ketegangan sosial, serta naik-turunnya harga bahan pokok, lapisan bawah masyarakat menjadi pihak yang paling terdampak.