Di 2005, sebagai Kepala Departemen, gaji pokok saya jadi Rp 10.000.000,- di luar tunjangan dan bonus prestasi. Harga emas menembus Rp 125.000, UMR Rp 711.000, setara 5,7 gram emas. Penghasilan saya membuka ruang lebih luas untuk investasi, namun tren menunjukkan bahwa daya beli UMR mulai berayun naik-turun.
Lima tahun berikutnya, saya menjabat Assistant Vice President dengan gaji Rp 25.000.000,- di luar tunjangan jabatan dan bonus. Emas melesat ke Rp 300.000 per gram, sedangkan UMR mencapai Rp 1.118.000---hanya cukup membeli 3,7 gram emas. Saya menyadari, meski nominal UMR terus naik, daya belinya tidak selalu sejalan.
Puncak karier saya di perbankan tahun 2015 memberi gaji Rp 40.000.000,- per bulan, setara sekitar 72 gram emas pada harga Rp 550.000 per gram. UMR sendiri Rp 2.700.000, setara 4,9 gram emas.Â
Saat ini, Pekerja UMR nyaris kehilangan privilege untuk membangun rumah atau menabung emas.
Setelah itu, saya menjalani babak baru sebagai Direktur sebuah rumah sakit, kemudian dipercaya menjadi CEO sebuah grup pendidikan yang menaungi sekolah hingga perguruan tinggi.Â
Dan, sejak tahun 2020, saya menjalani masa pensiun serta aktif sebagai konsultan transformasi dan advisor lepas, berbagi pengalaman dan wawasan lintas industri.
Hingga saat ini, April 2025, harga emas telah mencapai Rp 1.986.000 per gram. UMR Jakarta resmi Rp 5.067.381, setara 2,5 gram emas. Angka itu memotret realitas: dengan upah minimum, hari ini kita hanya bisa membawa pulang seperempat dari yang dulu diperoleh generasi 1980-an.
Lebih menyedihkan lagi, dengan gaji minimum sekitar Rp 5 juta per bulan, impian memiliki rumah pun semakin menjauh.Â
Di banyak wilayah pinggiran Jakarta, rumah tipe kecil dengan luas tanah seadanya saja kini berharga di atas Rp 1,5 miliar. Dengan cicilan 20 tahun dan DP 20 persen, angsuran bulanan bisa menyentuh Rp 10 juta---dua kali lipat dari UMR saat ini.Â
Artinya, bahkan dengan hidup sangat hemat pun, pekerja bergaji minimum nyaris mustahil menjangkau kepemilikan rumah tanpa bantuan keluarga atau subsidi besar dari pemerintah.
Emas tidak pernah bohong. Ia merekam kisah inflasi, kebijakan ekonomi, dan ketimpangan daya beli. Lewat kisah saya, dari SPP Rp 500 hingga gaji puluhan juta, kita belajar satu hal: nilai riil uang lebih bermakna daripada nominalnya.Â
Mari jadikan data ini sebagai renungan---untuk pekerja, pemimpin, dan pembuat kebijakan---bahwa keadilan ekonomi bukan soal menaikkan angka di slip gaji, tetapi memelihara daya beli agar generasi mendatang dapat menapaki mimpi tanpa terjerat beban inflasi.
Semoga kisah ini memberi inspirasi dan bahan renungan bagi siapa saja yang membaca.Â
Terus semangat mengelola keuangan dengan bijak, dan jadilah bagian dari perubahan yang adil bagi semua.