Pernahkah Anda membayar uang sekolah kala SMA hanya lima ratus rupiah sebulan? Saya pernah. Kala itu, harga emas pun baru tujuh ribu rupiah per gram.Â
Begitulah awal dari perjalanan saya---sebuah kisah yang bukan hanya soal karier atau angka gaji, tapi juga tentang bagaimana nilai uang berubah drastis seiring waktu. Dan di balik semua itu, emas selalu menjadi saksi bisu sekaligus pengukur paling setia tentang daya beli kita.
Pada tahun 1980, saya masih mengenakan seragam putih abu di bangku SMA. Orang tua membayar SPP saya sebulan hanya Rp 500. Di luar sana, harga emas satu gram berkisar di angka Rp 7.000. Artinya, uang sekolah sebulan setara dengan 0,07 gram emas---sebuah angka kecil yang terasa pas memenuhi kebutuhan harian saya.Â
Bagi para pekerja pemula di Jakarta, gaji mereka diperkirakan sekitar Rp 35.000 per bulan, cukup menukar lima gram emas. Di masa itu, sekadar hidup layak dan menabung sedikit demi sedikit terasa mungkin.
Kelulusan SMA membawa saya ke Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, pada 1985. Biaya kuliah swasta kala itu mencapai Rp 200.000 per semester, jauh lebih tinggi dibandingkan teman saya di Universitas Padjadjaran yang hanya membayar Rp 18.000.Â
Untuk menutupi selisih itu, saya memutuskan berbisnis kaos bermodal awal Rp 500.000---yang setara 40 gram emas dengan harga per gram Rp 12.500. Dari keuntungan berjualan, saya tak hanya menambah uang jajan, tapi juga menjelajah ke Bali, bahkan merasakan gemerlap Singapura dan Malaysia. Di usia dua puluhan, saya belajar bahwa modal kecil dengan perencanaan matang bisa membuka dunia.
Tahun 1989, fresh graduate, saya memulai karier di sebuah bank dengan gaji pokok hampir Rp 500.000 per bulan. Ketika itu, harga emas satu gram sudah di kisaran Rp 21.000, dan UMR Jakarta resmi ditetapkan sekitar Rp 96.000. Artinya, gaji pertama saya setara dengan hampir 24 gram emas, sedangkan UMR hanya menghasilkan sekitar empat gram.Â
Tahun 1990, saya mengikuti Management Development Program, dengan tunjangan bulanan mencapai Rp 900.000---cukup menukar 42 gram emas per bulan. Saya mulai merasakan arti nyata kemerdekaan finansial.
Pada 1991, promosi menjadi First Line Manager mengantar gaji saya ke level Rp 2.000.000 per bulan, atau setara dengan 35 gram emas mengingat harga naik menjadi Rp 56.000 per gram.Â
Di sinilah saya membeli rumah pertama---kurang dari Rp 20 juta, setara 357 gram emas waktu itu. Dua dekade kemudian, properti yang sama telah melesat mendekati nilai 2 miliar rupiah.
Memasuki millennium baru, tepatnya tahun 2000, saya dipercaya sebagai Branch Manager dengan gaji Rp 5.000.000. Emas pun melonjak ke Rp 85.000 per gram, sementara UMR Jakarta hanya Rp 286.000---cukup menukar 3,4 gram emas.Â
Posisi saya memungkinkan saya mengamankan sekitar 60 gram emas setiap bulan, tapi saya menyaksikan bagaimana pekerja bergaji UMR semakin tergerus daya belinya.