Pagi itu, seperti biasa saya membuka dasbor Kompasiana sambil menikmati secangkir kopi hitam. Kebiasaan kecil setiap hari, sekadar melihat perkembangan artikel, jumlah views, komentar, atau tanda cinta yang mampir. Namun, pagi itu ada yang tidak biasa.Â
Saya tercengang saat melihat angka pembaca salah satu tulisan saya yang melonjak tajam. Tulisan itu bukan headline, tidak dipromosikan di kanal utama, tapi secara ajaib berhasil menembus angka 284 ribu pembaca hanya dalam waktu singkat.
Tulisan tersebut berjudul "Dampak Keputusan Konsumen Menolak Berbelanja terhadap Starbucks, Pizza Hut, dan Unilever", yang saya unggah pada 14 April 2025 di kanal Money. Sempat saya baca ulang dengan teliti, karena saya sendiri tidak menyangka artikel ini bisa begitu meledak tanpa tampil di halaman muka. Tanpa lampu sorot, tapi disambut luas oleh para pembaca.
Demikian pula dengan artikel "Tips Supaya Tidak Jatuh Miskin Saat Resesi Ekonomi; Belajar dari Pengalaman Krisis Moneter 1998" yang hampir mencapai 50.000 pembaca---sebuah angka yang mengejutkan mengingat artikel ini juga tidak tampil sebagai headline utama.
Rasanya seperti melihat seorang penyanyi jalanan yang tiba-tiba viral karena videonya dibagikan dari satu grup WhatsApp ke grup lainnya.
Viral Tak Butuh Headline
Dari fenomena itu saya belajar, tulisan bisa viral bukan karena ia tampil di depan, tetapi karena ia menyentuh sesuatu yang dalam. Ada irisan emosional, aktualitas, serta daya tarik judul dan narasi yang membangkitkan rasa penasaran.
Saya yakin, artikel tentang boikot merek global itu 'meledak' karena bertepatan dengan maraknya gerakan boikot konsumen di media sosial. Judulnya pun cukup provokatif, seakan mengundang diskusi. Dan gaya penulisannya, saya usahakan tidak menggurui, melainkan mengajak berpikir bersama.
Tulisan itu bergerak dari satu grup ke grup lain, dari satu platform ke platform lain, dan akhirnya menemukan jalannya sendiri menuju ratusan ribu pembaca. Itulah kekuatan tulisan yang mengalir dari pengalaman dan keresahan nyata.
Menulis Bukan Sekadar Mencari Headline
Saya tidak anti-headline, tentu saja. Tapi pengalaman April lalu mengajarkan saya bahwa menulis bukan hanya tentang mengejar tempat di depan. Menulis adalah tentang membangun koneksi, menyampaikan gagasan, dan meninggalkan jejak pemikiran.
Kadang, tulisan kita tidak disorot sorotan utama, tapi justru tumbuh menjadi perbincangan hangat di ruang-ruang kecil. Seperti benih yang jatuh di tanah yang subur, lalu tumbuh diam-diam menjadi pohon rindang.
Saya percaya, selama kita menulis dengan hati, dengan jujur, dan dengan semangat berbagi, tulisan itu akan menemukan takdirnya sendiri. Ia akan menjangkau pembaca yang tepat, di waktu yang tepat, dengan cara yang tak selalu bisa kita duga.