Resesi bukan hanya isu ekonomi global yang abstrak. Ia nyata, dan bisa mengubah rencana hidup seseorang secara drastis. Saat ini, Indonesia kembali menghadapi potensi resesi yang dipicu oleh sejumlah faktor global---termasuk kebijakan tarif impor sebesar 32% oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.Â
Efeknya tak hanya mengguncang neraca perdagangan, tapi juga langsung terasa di dapur rumah tangga: harga barang naik, lapangan kerja menyempit, dan daya beli menurun.
Tapi saya percaya, badai bisa dilalui jika kita punya bekal. Pengalaman menghadapi krisis moneter 1998 menjadi pelajaran hidup yang tak pernah saya lupakan. Saat itu, saya baru saja punya anak pertama---setelah menanti empat tahun sejak menikah. Rencana saya untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di Amerika Serikat harus dikubur, bukan karena kurang semangat, tetapi karena situasi ekonomi memaksa.Â
Kurs dolar melambung, biaya hidup dan studi menjadi tak terjangkau. Tapi saya tak menyerah. Saya alihkan langkah dan akhirnya menyelesaikan pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor (IPB), yang justru membuka banyak jalan rezeki dan pengalaman baru.
Tahun 2001, ketika ekonomi belum sepenuhnya pulih, anak kedua lahir. Dan akhirnya, saat ekonomi mulai stabil kembali, anak ketiga hadir di tahun 2004. Saya bersyukur bisa melewati masa-masa penuh tantangan itu tanpa jatuh miskin, bahkan tetap tumbuh---baik sebagai individu, profesional, maupun kepala keluarga.
Nah, dari perjalanan itulah saya ingin berbagi tips yang bisa jadi bekal kita bersama menghadapi kemungkinan resesi hari ini.
1. Belajar Menyederhanakan Gaya Hidup
Saat semua harga naik dan penghasilan stagnan, hidup sederhana bukan pilihan, tapi keharusan. Kurangi belanja impulsif, pilih masak di rumah dibanding makan di luar, dan belajarlah bahagia dengan hal-hal kecil.Â
Ketika krisis 1998 melanda, saya dan istri sepakat untuk menata ulang semua pengeluaran. Setiap rupiah dipikirkan, bukan karena pelit, tapi karena itu satu-satunya cara agar kami tetap bisa berjalan ke depan.
2. Bangun Dana Darurat, Bukan Hanya Cita-Cita
Krisis mengajarkan bahwa dana darurat bukan teori. Saat itu, harga kebutuhan hidup melonjak tinggi seiring naiknya dolar sampai 10 kali lipat, sementara yang namanya gaji malah mengalami penurunan karena banyaknya tunjangan yang dihilangkan.Â
Maka kami mulai menyisihkan sedikit demi sedikit, bahkan dari jumlah yang tak seberapa. Tabungan kecil itu menjadi pelindung saat yang lain panik, kami masih bisa bernapas.
3. Cari Jalan Tambahan, Jangan Hanya Satu Lorong
Satu sumber penghasilan kadang tidak cukup. Maka saya belajar untuk tidak bergantung hanya pada satu pekerjaan.Â
Saya menulis, mengajar, bahkan membantu proyek-proyek kecil di luar pekerjaan utama. Semua itu menjadi pelampung saat arus deras menghantam.
4. Jaga Aset Seperti Menjaga Diri
Di masa krisis, kita harus lebih hati-hati dengan uang. Jangan cepat tergiur janji investasi fantastis. Pilih yang aman dan bisa dipercaya.Â
Emas batangan kecil, tabungan berjangka, atau tanah kecil di kampung---semua itu lebih berguna dari pada sekadar status sosial.
5. Upgrade Diri, Bukan Cuma Gadget
Saya tetap melanjutkan pendidikan, walau bukan di luar negeri seperti rencana awal. Ternyata, keputusan itu justru membawa banyak kebaikan.Â
Saya bertemu dengan orang-orang hebat di IPB, belajar banyak hal, dan membuka banyak peluang. Ilmu adalah bekal yang nilainya tak turun, bahkan di tengah krisis.
6. Hati-Hati dengan Utang, Jangan Gali Lubang Tutup Lubang
Kami berusaha sebisa mungkin tidak tergoda utang konsumtif. Kalau terpaksa berutang, harus jelas tujuannya---bukan untuk tampil gaya, tapi untuk bertahan hidup atau menambah nilai produktif. Karena sekali terjebak utang, keluar dari krisis akan jauh lebih sulit.
7. Rangkul Komunitas, Jangan Jalan Sendiri
Saya aktif di komunitas, jaringan teman, dan lingkungan kerja. Di masa sulit, informasi, peluang, dan dukungan sering datang bukan dari instansi formal, tapi dari orang-orang terdekat yang peduli. Jangan malu untuk berbagi cerita, siapa tahu justru jadi jalan keluar.