Di tengah hiruk-pikuk Jakarta Selatan, seorang analis muda bernama Dinda terbiasa memulai harinya dengan secangkir kopi latte dari gerai Starbucks dekat kantornya. Tapi sejak awal 2024, kebiasaannya berubah. Bukan karena harga atau kualitas rasa, melainkan karena keresahan yang tumbuh dari berbagai informasi yang ia temui di media sosial. Tentang konflik, ketidakadilan, dan solidaritas kemanusiaan.Â
Kini, Dinda memilih kopi dari kedai lokal di gang kecil belakang gedung perkantoran. "Lebih ramah hati," katanya sambil tersenyum.
Cerita Dinda bukan sekadar soal selera kopi. Ini tentang bagaimana kesadaran sosial telah mempengaruhi keputusan konsumsi, bahkan di kalangan urban profesional yang selama ini jadi pasar utama bagi merek-merek global seperti Starbucks, Pizza Hut, dan Unilever.
Pergeseran Pilihan, Guncangan Finansial
Pilihan-pilihan seperti yang dilakukan Dinda terbukti memberikan dampak nyata bagi perusahaan. Menurut laporan terbaru dari Bisnis.com (April 2025), PT MAP Boga Adiperkasa Tbk (MAPB)---pemegang lisensi Starbucks di Indonesia---mencatat kerugian bersih sebesar Rp6,98 miliar di kuartal pertama 2024.Â
Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, mereka masih mampu membukukan laba bersih sebesar Rp17,93 miliar.
Sementara itu, PT Sarimelati Kencana Tbk (PZZA), pengelola jaringan restoran Pizza Hut, melaporkan penurunan laba hingga 20% pada akhir tahun 2024. Penurunan ini dipicu oleh lemahnya pertumbuhan pendapatan dan kenaikan beban pokok penjualan.Â
Tak jauh berbeda, Unilever Indonesia (UNVR) juga mencatat penurunan laba bersih sebesar 10,3% menjadi Rp1,26 triliun.
Ketiga perusahaan ini memang menjadi sorotan publik seiring merebaknya gerakan konsumen yang mempertanyakan keterlibatan, afiliasi, atau diamnya perusahaan-perusahaan besar dalam isu kemanusiaan global.Â
Meski tidak semua konsumen bersikap sama, namun cukup banyak yang menyuarakan ketidaknyamanan dan memilih untuk sementara waktu tidak membeli produk-produk dari merek tersebut.
Konsumen yang Lebih Kritis dan Peduli
Berbeda dari satu dekade lalu, konsumen masa kini tak hanya peduli soal harga dan kualitas. Mereka mulai melihat merek sebagai representasi nilai-nilai yang mereka anut.Â