Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dampak Keputusan Konsumen Menolak Berbelanja terhadap Starbucks, Pizza Hut, dan Unilever

14 April 2025   19:11 Diperbarui: 14 April 2025   19:11 303964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerita Dinda, Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 

Riset Jakpat pada akhir 2023 menunjukkan bahwa 3 dari 5 responden di Indonesia menyatakan telah mengurangi atau berhenti membeli produk dari merek tertentu karena alasan etika atau posisi perusahaan dalam isu sosial dan politik.

Bukan hanya generasi muda, tetapi juga segmen menengah perkotaan dan profesional yang kini lebih aktif menyuarakan preferensi mereka. 

Platform seperti Twitter, Instagram, dan TikTok menjadi tempat berbagi informasi, edukasi, dan bahkan kampanye simbolik seperti mengunggah foto produk lokal sebagai alternatif dari merek global.

Strategi Bertahan dan Respon Pasar

Perusahaan-perusahaan besar tentu tak tinggal diam. MAPB, UNVR, dan PZZA berusaha menjaga ritme bisnis mereka dengan berbagai cara: memperluas segmen pasar, meningkatkan promosi, hingga menekankan kontribusi sosial mereka di tingkat lokal. Namun sayangnya, bagi sebagian konsumen, langkah-langkah tersebut belum cukup menghapus persepsi atau kekecewaan.

Di sisi lain, merek-merek lokal justru menikmati momen pertumbuhan. Kopi independen, sabun herbal rumahan, hingga gerai makanan khas Indonesia mulai naik daun. Mereka tidak hanya menawarkan produk yang lebih terjangkau, tetapi juga kedekatan emosional dan narasi yang terasa lebih "bersih".

Dimulainya Era Ekonomi Berbasis Nilai

Fenomena ini bukan sekadar tren sesaat. Ia menandai babak baru di mana ekonomi tak lagi murni soal permintaan dan penawaran, tetapi juga soal nilai. 

Konsumen menjadi aktor aktif dalam membentuk wajah bisnis. Mereka bersuara, memilih, dan dalam banyak kasus, berhasil membuat perusahaan besar merevisi pendekatannya.

Para analis menyebut ini sebagai "era ekonomi berbasis nilai"---di mana brand equity dibangun bukan hanya lewat kampanye iklan, tetapi juga konsistensi dalam memegang komitmen sosial. 

Tak lagi cukup menjadi "baik di mata pasar", merek juga dituntut menjadi "baik di mata hati".

Bukan Tentang Menjatuhkan, Tapi Mengingatkan

Narasi ini bukan untuk menyudutkan atau menggiring opini terhadap merek tertentu. Sebaliknya, ini adalah cermin dari dinamika baru antara produsen dan konsumen. Sebuah ajakan untuk mendengar, memahami, dan beradaptasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun