Mohon tunggu...
Melda Widayanti Okta
Melda Widayanti Okta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Pamulang

Jadilah seperti padi dan air walaupun ia sederhana tetapi mampu memberikan manfaat kepada banyak orang 🌾

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Kelabu

13 Oktober 2021   08:28 Diperbarui: 14 Oktober 2021   21:34 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

Langit dihari ini sangatlah berbeda dengan hari-hari sebelumnya, bagaimana tidak langit itu dipenuhi dengan warna abu-abu disekelilingnya. Aku tidak tau bagaimana hal itu bisa terjadi begitu saja. Hal yang tidak terlintas pada pikiran  sebelumnya, tapi awan dan embun sangat bersemangat dengan adanya senja diwaktu itu. Awan pun menghampiri ku (embun) dengan penuh tanda tanya?.

“Awan bagaimana keadaan mu apakah baik-baik saja hari ini”?  Tanya awan

“Iya baik-baik saja ko wan” dengan wajah menatap awan dan sedikit senyum tipis

“ benar nih bun” tanya awan dengan nada sedikit kencang

“Gausah marah-marah juga dong wan, biasa aja” ucap embun dengan nada emosi

Nah kan, kamu yang emosi dan marah-marah sama aku bun !

Ahh udah lah aku mau pulang dulu,  embun yang memalingkan wajahnya dari awan

Tunggu bun ! dengan tergesa-gesa mengejar embun dan mencoba mencegah nya pergi untuk pulang

Awan menarik tangan embun dengan penuh hangat, dan kasih sayang. “Bun jangan emosi lagi yaa, ucap awan sambil memeluk embun. Aku gak ada maksud buat marah-marah ko” ucap awan

Tapi embun sudah membabi buta?

Sesampai dirumah, embun terlihat gelisah dan memikirkan kata-kata yang dia ucapkan tadi siang pada awan. Kegelisahan itu dia rasakan hingga tidak bisa tidur sampai dengan jam 02.00 dini hari

“hah apa ini ko tangan ku berwarna merah pekat sekali? Kok tumben yah”

Lalu pagi hari tepatnya jam 07.00 WIB dikampus.

Embun pergi seorang diri tanpa ditemani awan yang biasa menjemput nya, setiap hari

“kotumben awan gak kerumah hari ini” ucap embun dalam hati

Saat sampai dikampus betapa kagetnya embun ketika diberitahu oleh teman embun akan kondisi awan yang tidak embun ketehaui sebelumnya Embun jalan kekelas dengan penuh semangat

“Bun, si awan Kemana” ko gak bareng kamu, tanya ketua kelas mereka

“Aku gak tau, aku kira dia memang sudah memberitahu mu” jawab embun dengan penuh kebingungan serta tanda tanya

Kebingungan embun terus berlanjut hingga istirahat tiba, dia pun mencoba untuk menghubungi awan melalui telepon.

Nut, nut, nut, nada telepon yang menandakan telepon itu tidak terjawab

“Ihhh ko gak diangkat si” nada kesal embun terus menjadi-jadi sambil memukul meja kantin pada saat itu, dan orang-orang pun kaget akan kelakuan embun

Ehh bun jangan keras-keras dong !, ini kan kantin kalo mau marah-marah dirumah sana. Ucap teman kelas embun.

“Iya maaf” ucap embun dengan nada penuh penyesalan

“Kenapa si, awan susah banget dihubungi” embun mulai panik dan mencari kebenaran apa yang sedang terjadi

Ia juga akan mendatangi rumah awan saat tidak ada respon balik dari awan akan telepon nya itu.

Dan benar saja embun mendatangi rumah awan pada hari itu juga, tapi?

“Selamat siang permisi, awan, awan, awan ? Panggilan 3 kali nama awan tapi tidak ada respon dari dalam rumah nya, menandakan rumah itu sepi tak ada penghuni nya.

“Ko sepi banget, orang nya kemana!” embun kembali menanyakan kepada dirinya sendiri akan keberadaan awan yan tiba-tiba menghilang.

Sehari kemudian awan tidak kunjung menandakan akan kehadirannya, atau hanya sekedar menelepon balik embun, yang hari demi hari cemas serta panik akan dirinya

Kemana si kamu wan, udah dua hari gak ada kabar, apa menghilang nya kamu ini disebabkan oleh kata-kata ku waktu kemarin sore ya? Tanya embun yang mulai gelisah dengan menyalahkan dirinya sendiri sebab dari menghilangkan awan untuk beberapa hari ini

Hiks....! “Maafin aku wan kalo ucapan kemarin aku salah, kemarin aku sedang emosi wan dan gak bermaksud membentak kamu” tangisan pun pecah tidak bisa terbendung lagi, awan sangat menyesali perbuatannya.

Hari makin sore, susah menunjukkan pukul 17.30 WIB yang artinya senja muncul pada saat itu, terapi hari itu sangat berbeda, karena senja yang setiap harinya muncul dengan warna jingga dilangit, sekarang berubah menjadi warna keabuan. Seolah-olah alam juga ikut bersedih serta menandakan kegundahan hati.

“Hah percuma aku nangis, awan gak bakal datang menemuiku sekarang, seandainya kamu ada disini wan menemani ku, seperti biasanya. Ucap embun

“ ko mendung si, eh hujan lagi..!”

Alam pun seakan mengerti kesedihan yang dialami oleh embun dengan cara menurunkan hujan. Embun menjalani hari-hari nya seperti biasa, seperti kuliah, mengerjakan tugas, serta membaca buku diperustakaan dengan sendiri tanpa ditemani awan seperti biasa.

“Wan kamu suka banget ilang yah, sampai-sampai aku terbiasa dengan kesendirian ini tanpa kamu, sudah seminggu loh wan kamu gaada kabar, bahkan pihak keluarga kamu pun gak tahu kemana” unek-unek embun terus terucapkan

“nut, nut, nut,” hp embun bergetar menandakan ada suara panggilan masuk

Eh, akhirnya nomor awan aktif dan nelpon baik. Yeeay, sorak embun hingga kegirangan, sampai-sampai dia gak sadar bahwa dia lagi diperustakaan yang dominan nya gak boleh ada orang berisik.

“Halo, wan kamu kemana aja si?” dengan penuh semangat embun mengangkat telepon dari nomor awan tanpa mengijinkan si pemilik nomor bicara duluan

“Iyaa halo, ini siapa ya?” suara pada panggilan

“lah ko suara cewek?” ucap embun dengan heran

“iya maaf saya, Tante dari awan” suara tangis terdengar dari telepon

“Oh Tante nya awan, kalo gitu maaf ya Tan”

“Iya gapapa ko dek”

“Ko Tante nada nya sedih gitu yaa, Tante lagi nangis, sebenarnya apa yang terjadi tan sama awan kenapa dia menghilang hingga seminggu, seolah telah tertelan bumi” ucapnya

“Maaf dek sebenarnya, awan itu gak menghilang. Tapi...?”

Tapi apa tan? Tanya embun dengan penuh ketegasan

Sebenrnya, awan udah gak ada dek...

Hah, gak ada gimana maksudnya Tan?

“Udah meninggal dek” jawab Tante awan dengan nada tangisan yang makin menjadi

Meninggal karena apa tan?

“Dibunuh de” tante awab

“apa???,” air mata embun terus menetes, tak terbendung lagi.

“Apakah jawaban ini, menjadi jawaban dari semua pertanyaan ku, tapi kenapa tuhan?” tangisan pecah seketika seolah embun tidak terima dengan kenyataan.

Keesokan harinya, setelah diberitahu oleh Tante awan, embun mengunjungi makam awan yang ternyata tidak jauh dari rumah tante nya. Masih dengan suasana duka, embun terus menangis tersedu-sedu seolah-olah tidak menerima semua kenyataan apa yang sedang iya lihat didepan matanya.

“Wan, kamu jahat banget si, ninggalin aku gitu aja” Ucapan embun dengan penuh penyesalan dan rasa sakit dihati. Aku janji wan bakal cari tahu siapa yang udah menyebabkan kamu seperti ini.

Sambil menunggu tante awan membereskan rumahnya, untuk meminta izin pulang. Embun dihadapkan dengan dua orang polisi, iya pun bingung.

“Mengapa ada polisi” ucapnya

“Tangkap dia pak” Tante awan menunjuk kearah embun.

Loh kenapa saya ditangkap tante?

“Karena kamu sudah membunuh, ponakan saya” Isak tangisan Tante awan pun pecah dihadapan dua polisi Itu

Haha tidak Tante, aku baru saja ingin mencari pembunuh dari awan, masa iya aku yang membunuhnya. Tanya embun dengan nada santai dan tawa nya yang khas itu

“iya kamu, karena kamu punya dua kepribadian bun” Tante udah mengetahui informasi itu satu tahun yang lalu dari awan dan bukti-bukti juga mengarah kekamu. Kamu ingat gak ketika kamu emosi sore itu, saat awan memeluk kamu saat kamu emosi, lalu ketika kamu pulang kerumah ditangan nu ada bercak merah pekat, itu darah  dari awan bun orang yang kamu bunuh.

Gak mungkin, nggak........ Ucapan Embun menandakan penyesalan

Embun tidak bisa mengelak lagi, karena embun seseorang yang memiliki dua kepribadian yang dapat berubah ketika matahari senja, dan hilang ingatan ketika pagi datang serta sikapnya yang psikopat membuat embun tidak menyadari kesalahan yang dia buat sebelumnya, polisi pun telah memasukkan embun ke penjara dan embun divonis seumur hidup penjara, karena telah melakukan pembunuhan secara berencana dan menutupi kasus tersebut.

Penulis: Melda Widayanti Okta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun